1 Februari 2011

Peracunan Makanan oleh Clostridium perfringens

Posted in Mikrobiologi Pangan pada 12:47 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji hanyalah milik Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya, serta tak lupa pula salam dan shalawat semoga tetap tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW yang merupakan suri tauladan bagi kita semua dan merupakan pelopor dari Ilmu pengetahuan.
Makalah Mikrobiologi Pangan yang berjudul “Peracunan Makanan oleh Clostridium perfringens” memberikan gambaran tentang bagaimanakah sebenarnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri Clostridium perfringens itu sendiri serta hal-hal yang berkaitan dengannya seperti gejala, penyebab, dan upaya pencegahan, sehingga nantinya kami berharap makalah ini dapat menjadi salah satu sumber informasi tentang penyakit yang disebabkan oleh bakteri Clostridium perfringens itu. Meskipun kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ke depannya.
Gowa, 05 Februari 2011

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I : Pendahuluan
a. Latar Belakang
b. Tujuan
Bab II : Pembahasan
a. Peracunan Makanan oleh Clostridium perfringens
b. Cara-cara Penularan
c. Gejala Keracunan
d. Penanganan Penyakit
Bab III : Penutup
a. Kesimpulan
b. Saran
Daftar Pustaka


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makanan basi atau terkontaminasi tak asing lagi ada campur tangan mikroorganisme di dalamnya. Banyak cara yang dilakukan oleh manusia untuk mencegahnya, salah satunya dengan pengawetan. Pengawetan makanan yang umumnya digunakan adalah memasak atau memanaskan makanan tersebut agar mikroorganisme yang ada di dalamnya mati, selain itu dengan pemberian garam dengan konsentrasi tinggi misalnya saja pada ikan atau daging, penggunaan radiasi juga efektif untuk beberapa jenis makanan. Metode pengawetan makanan yang tidak mematikan mikroorganisme tetapi mencegah pertumbuhannya mencakup pembekuan dan pengeringan.
Makanan basi sebenarnya tidak menjadi masalah bagi kita jika tidak dikonsumsi, atau ada juga sebagian dari kita tidak sadar bahwa makanan itu sudah tidak layak lagi dimakan tapi tetap dimakan, akhirnya menyebabkan timbul berbagai macam penyakit, diare contohnya. Bahkan tidak jarang banyak berakibat fatal alias kematian.
Demi menjaga kesehatan,kita harus teliti benar dalam soal makanan. Makanan jajanan atau pinggir jalan sebaiknya tidak dikonsumsi karena selain higienisitas makanan tidak terjamin juga banyak menggunakan bahan kimia secara berlebihan. Rasanya kita perlu tahu apa saja yang menyebabkan makanan menjadi basi/rusak, lalu bagaimana pengendalian serta pencegahannya jika sudah terjadi.
Berbagai penyakit atau infeksi yang berbeda-beda mungkin terjadi karena memakan makanan yang terkontaminasi dengan organisme patogen. Hal ini khususnya benar untuk infeksi usus seperti E. coli enterotoksigen, kolera, disentri dan tifus. Tetapi penyakit ini disebabkan oleh patogen spesifik yang tidak yang tidak akan dijumpai pada orang yang sehat kecuali, barangkali, untuk pembawa sewaktu-waktu. Penyakit-penyakit makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme yang biasanya harus di anggap ada. Penyakit-penyakit ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar.
Infeksi makanan terjadi karena memakan makanan yang mengandung organisme hidup yang mampu sembuh atau bersporulasi dalam usus, yang menimbulkan penyakit. Organisme yang menimbulkan infeksi makanan meliputi C. perfringens, Vibrio parahaemolyticus dan sejumlah jenis salmonella yang berlainan. Sebaliknya,peracunan makanan tidak disebabkan oleh menelan organisme hidup melainkan dengan kemasukan toksin atau substansi beracun yang di sekresi ke dalam makanan. Dalam hal yang terakhir, organisme ini mungkin mati setelah pembentukan toksin dalam makanan, tetapi apabila toksin itu sendiri tidak dimusnahkan, peracunan makanan yang hebat dapat terjadi dari memakan makanan itu. Organisme yang menyebabkan peracunan makanan mencakup S. aureus, C. botulinum, dan B. cereus.
Tipe peracunan makanan yang penting yang telah dipertelakan hanya selama beberapa dasawarsa terakhir disebabkan oleh Clostridium perfringens.

B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang telah ada, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui gambaran tentang peracunan makanan oleh Clostridium perfringens.
2. Untuk mengetahui gejala keracunan makanan oleh Clostridium perfringens.
3. Untuk mengetahui cara penularan penyakit yang disebabkan oleh Clostridium perfringens.
4. Untuk mengetahui penanganan yang dilakukan terhadap keracunan makanan oleh Clostridium perfringens.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Peracunan Makanan oleh Clostridium perfringens
Clostridium perfringens adalah spesies bakteri gram-positif yang dapat membentuk spora dan menyebabkan keracunan makanan. Beberapa karakteristik dari bakteri ini adalah non-motil (tidak bergerak), sebagian besar memiliki kapsul polisakarida, dan dapat memproduksi asam dari laktosa. C. perfringens dapat ditemukan pada makanan mentah, terutama daging dan ayam karena kontaminasi tanah atau tinja. Bakteri ini dapat hidup pada suhu 15-55 °C, dengan suhu optimum antara 43-47 °C. Clostridium perfringens dapat tumbuh pada pH 5-8,3 dan memiliki pH optimum pada kisaran 6-7. Sebagian C. perfringens dapat menghasilkan enterotoksin pada saat terjadi sporulasi dalam usus manusia. Spesies bakteri ini dibagi menjadi 5 tipe berdasarkan eksotoksin yang dihasilkan, yaitu A, B, C, D, dan E. Sebagian besar kasus keracunan makanan karena C. perfringens disebabkan oleh galur tipe A, dan ada pula yang disebbkan oleh galur tipe C. Gastroenteritis adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh Clostridium perfringens. Gastroenteritis ini disebabkan karena memakan makanan yang tercemar oleh toksin (racun) yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium perfringens.
C. Perfringens adalah salah satu penyebab utama infeksi luka yang berakibat gangren gas. Seperti banyak klostridia, organisme ini memproduksi berbagai ragam eksotoksin, akan tetapi, galur peracunan makanan C. Perfringens kelihatannya hanya memproduksi sedikit toksin alfe, sehingga mekanisme yang digunakannya untuk menimbulkan gajala-gejalanya tidak sepenuhnya diketahui. Tipe peracunan makanan seperti ini memerlukan masuknya jumlah besar organisme C. Perfringens yang berdaya hidup. Organisme ini akan membentuk spora apabila sampai di dalam usus, dan hanya pada waktu pembentukan endospora dalam usus itulah toksin peracunan makanan diproduksi.
Urutan kejadian yang khas yang menjurus ke peracunan makanan adalah penyiapan masakan daging yang dimakan 1 atau 2 hari kemudian. Karena Clostridium perfringens membentuk endospora yang relative panas cara memasak biasa sering tidak memusnahkan MO ini. Setelah makanan dingin, spora bersemai dan sel-sel vegetatif yang terjadi berkembang biak.
Klasifikasi dari bakteri Clostridium perfringens:
Kingdom : Bacteria
Division : Firmicutes
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Family : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Species : perfringens
Binomial : Clostridium perfringens
Clostridium perfringens secara luas dapat ditemukan dalam tanah dan merupakan flora normal dari saluran usus manusia dan hewan-hewan tertentu. Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada makanan yang telah dimasak dan menghasilkan enterotoksin yang dapat mengakibatkan penyakit diare. Sayuran dan buah-buahan akan terkontaminasi sporanya melalui tanah. Makanan asal hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong. Makanan-makanan kering sering menjadi sumber bakteri ini dan pembentuk spora lainnya. Ketahanan spora bakteri ini terhadap panas bervariasi di antara strain. Secara garis besar spora dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu spora yang tahan panas (90° Celsius selama 15 sampai 145 menit) dan spora yang tidak tahan panas (90° Celsius, 3 sampai 5 menit). Spora yang tahan panas secara umum membutuhkan heat shock 75-100 derajat Celsius selama 5 sampai 20 menit untuk proses germinasi (perubahan spora menjadi bentuk sel vegetatif). Keracunan makanan oleh Clostridium perfringens hampir selalu melibatkan peningkatan temperatur dari makanan matang. Hal ini dapat dicegah dengan cara makanan matang segera dimakan setelah dimasak, atau segera disimpan dalam refrigerator bila tidak dimakan, dan dipanaskan kembali sebelum dikonsumsi untuk membunuh bakteri vegetatif.
Klostridia menghasilkan sejumlah besar toksin dan enzim yang mengakibatkan penyebaran infeksi. Toksin alfa Clostridium perfringens tipe A adalah suatu lesitinase, dan sifat letalnya sebanding dengan laju pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan digliserida. Toksin teta mempunyai efek hemolitik dan nekrotik yang serupa tetapi bukan suatu lesitinase. DNase dan hialuronidase, suatu kolagenase yang mencernakan kolagen jaringan subkutan dan otot, dihasilkan juga.

TOKSIN ALFA
Clostridium perfringens

Beberapa strain Clostridium perfringens menghasilkan enterotoksin yang kuat, terutama bila tumbuh dalam masakan daging. Kerja enterotoksin Clostridium perfringens meliputi hipersekresi yag nyata dala jejunum dan ileum, disertai kehilangan cairan dan elektrolit pada diare. Bila lebih dari 108 sel vegetative termakan dan bersporulasi dalam usus, terbentuk enterotoksin. Enterotoksin adalah suatu protein yang tampaknya identik dengan komponen pembungkus spora, berbeda dengan toksin klostridia lainnya, menyebabkan diare hebat dalam 6-18 jam penyakit ini cenderung sembuh sendiri. Keracunan makanan karena Clostridium perfringens biasanya terjadi setelah memakan sejumlah besar klostridia yang tumbuh dalam makanan daging yang dihangatkan.
Proses patogenesisnya adalah mula-mula spora klostridia mencapai jaringan melalui kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka (tanah,feses) atau dari saluran usus. Spora berkembangbiak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi rendah, sel-sel vegetative berkembangbiak, meragikan karbohidrat yang terdapat dalam jaringan dan membentuk gas. Peregangan jaringan dan gangguan aliran darah, bersama-sama dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrois dan enzim hialuronidase, mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jarinan bertambah luas, member kesempaan untuk peninkatan pertumbyhan bakateri, anemia hemolitik, dan akhirnya toksemia berat dan kematian.
Clostridium perfringens secara normal ditemukan pada usus sapi dewasa dan dapat bertahan hidup cukup lama di tanah. Kondisi perubahan program pakan yang secara mendadak yang dimakan berlebih dapat mengakibatkan proses pencernaan makanan yang kurang sempurna, memperlambat pergerakan usus, menproduksi gula, protein dan konsentrasi oksigen yang rendah yang berujung pada lingkungan yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan bakteri Clostridium. Kondisi basah dan lembab juga terlihat diinginkan oleh bakteri ini.
Beberapa strain Clostridium menyebabkan penyakit ringan sampai sedang yang membaik tanpa pengobatan. Strain yang lainnya menyebabkan gastroenteritis berat, yang sering berakibat fatal. Beberapa racun tidak dapat dirusak oleh perebusan,sedangkan yang lainnya dapat. Daging yang tercemar biasanya merupakan penyebab terjadinya keracunan makanan karena Clostridium perfringens.

B. Cara-cara Penularan
Cara penularan adalah karena menelan makanan yang terkontaminasi oleh tanah dan tinja dimana makanan tersebut sebelumnya disimpan dengan cara yang memungkinkan kuman berkembangbiak. Hampir semua KLB yang terjadi dikaitkan dengan proses pemasakan makanan dari daging (pemanasan dan pemanasan kembali) yang kurang benar, misalnya kaldu daging, daging cincang, saus yang dibuat dari daging sapi, kalkun dan ayam. Spora dapat bertahan hidup pada suhu memasak normal. Spora dapat tumbuh dan berkembang biak pada saat proses pendinginan, atau pada saat penyimpanan makanan pada suhu kamar dan atau pada saat pemanasan yang tidak sempurna. KLB biasanya dapat dilacak berkaitan dengan usaha katering, restoran, kafetaria dan sekolah-sekolah yang tidak mempunyai fasilitas pendingin yang memadai untuk pelayanan berskala besar. Diperlukan adanya Kontaminasi bakteri yang cukup berat (yaitu lebih dari 105 organisme per gram makanan) untuk dapat menimbulkan gejala klinis.

Penyebaran penyakit ini sangat luas dan lebih sering terjadi di negara-negara dimana masyarakatnya mempunyai kebiasaan menyiapkan makanan dengan cara-cara yang dapat meningkatkan perkembangbiakan clostridia.

C. Gejala Keracunan
Keracunan makanan ´perfringens´ merupakan istilah yang digunakan untuk keracunan makanan yang disebabkan oleh C. perfringens . Penyakit yang lebih serius, tetapi sangat jarang, juga disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi strain Type C. Penyakit yang ditimbulkan strain type C ini dikenal sebagai enteritis necroticans atau penyakit pig-bel .
Keracunan perfringens secara umum dicirikan dengan kram perut dan diare yang mulai terjadi 8-22 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak C. perfringens penghasil toxin penyebab keracunan makanan. Penyakit ini biasanya sembuh dalam waktu 24 jam, namun pada beberapa individu, gejala ringan dapat berlanjut sampai 1 hingga 2 minggu. Beberapa kasus kematian dilaporkan akibat terjadi dehidrasi dan komplikasi-komplikasi lain.
Necrotic enteritis (penyakit pig-bel ) yang disebabkan oleh C. perfringens sering berakibat fatal. Penyakit ini juga disebabkan karena korban menelan banyak bakteri penyebab penyakit dalam makanan yang terkontaminasi. Kematian karena necrotic enteritis ( pig-bel syndrome ) disebabkan oleh infeksi dan kematian sel-sel usus dan septicemia (infeksi bakteri di dalam aliran darah) yang diakibatkannya. Penyakit ini sangat jarang terjadi.
Dosis infektif – Gejala muncul akibat menelan sejumlah besar (lebih dari 10 8 ) sel vegetatif. Produksi racun di dalam saluran pencernaan (atau di dalam tabung reaksi) berhubungan dengan proses pembentukan spora. Penyakit ini merupakan infeksi pada makanan; hanya satu sajian memungkinkan terjadinya keracunan (penyakit timbul karena racun yang terbentuk sebelum makanan dikonsumsi).
Keracunan perfringens didiagnosis dari gejala-gejalanya dan waktu dimulainya gejala yang agak lama setelah infeksi. Lamanya waktu antara infeksi dan timbulnya gejala merupakan ciri khas penyakit ini. Diagnosis dipastikan dengan memeriksa adanya racun dalam kotoran pasien. Konfirmasi secara bakteriologis juga dapat dilakukan apabila ditemukan sangat banyak bakteri penyebab penyakit di dalam makanan atau di dalam kotoran pasien.

D. Penanganan Penyakit
Pengobatan penyakit ini dapat dilakukan dengan, penderita diberi cairan dan dianjurkan untuk istirahat. Pada kasus yang berat, diberikan penicillin. Jika penyakit ini sudah merusak bagian dari usus halus, mungkin perlu diangkat melalui pembedahan.
Pencegahan secara total mungkin tidak dapat dilakukan, namun makanan yang dimasak, dipanaskan dan disimpan dengan benar umumnya aman dikonsumsi. Resiko paling besar adalah kontaminasi silang, yakni apabila makanan yang sudah dimasak bersentuhan dengan bahan mentah atau peralatan (misalnya alas pemotong) yang terkontaminasi.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk melakukan tindakan pencegahan penyebaran bakteri Clostridium perfringens adalah dengan cara-cara sebagai berikut:
a) Pendidikan tentang dasar-dasar kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam sanitasi makanan
b) Jangan biarkan makanan berada pada suhu kamar yang memungkinka mikroorganisme yang mengkontaminasi berkembang biak.
c) Lakukan pemasakan dengan sempurna sebelum dihidangkan agar dapat tercegah dari infeksi dan keracunan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Clostridium perfringens adalah spesies bakteri gram-positif yang dapat membentuk spora dan menyebabkan penyakit Gastroenteritis yaitu keracunan makanan yang tercemar oleh toksin (racun) yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium perfringens.
2. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Clostridium perfringens dapat menular melalui makanan yang terkontaminasi oleh tanah dan tinja dimana makanan tersebut sebelumnya disimpan dengan cara yang memungkinkan kuman berkembangbiak. Selain itu, cara masak yang kurang sempurna juga bisa menjadi faktor penularan penyakit.
3. Gejala keracunan perfringens secara umum dicirikan dengan kram perut dan diare yang mulai terjadi 8-22 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak C. perfringens penghasil toxin penyebab keracunan makanan.
4. Penanganan penyakit dapat dilakukan dengan memperhatikan cara memasak makanan. Makanan yang dimasak, dipanaskan dan disimpan dengan benar akan aman dikonsumsi. Pengobatan dapat dilakukan dengan memberi cairan dan istirahat. Pada kasus yang berat, diberikan penicillin. Jika penyakit ini sudah merusak bagian dari usus halus, mungkin perlu dilakukan pembedahan.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diajukan yaitu perlunya dilakukan kajian pustaka yang lebih mendalam lagi tentang Peracunan Makanan oleh Clostridium perfringensi sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih jelas lagi.

DAFTAR PUSTAKA

“Clostridium perfringens” Ensiklopedia bebas bahasa indonesia. Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Clostridium-perfringens. (26 Januari 2011).

“Clostridium perfringens” http://www.food-info.net.id/bact/intro.htm (26 Januari 2011).

Entjang, Indan. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.

Irianto, Koes. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid 1. Bandung : Yrama Widya, 2007.

3 Juni 2010

EnZim

Posted in Fisiologi Hewan pada 13:15 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

Suatu reaksi kimia, khususnya antara senyawa organik, yang dilakukan dalam laboratorium memerlukan suatu kondisi yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan, waktu dan lain-lain. Apabila salah satu kondisi tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan maka reaksi tidak dapat berlangsung dengan baik. Tubuh kita merupakan laboratorium yang sangat rumit, sebab di dalamnya terjadi reaksi kimia yang beraneka ragam. Penguraian zat-zat yang terdapat dalam makanan, penggunaan hasil uraian untuk memperoleh energi, penggabungan kembali hasil uraian untuk membentuk persediaan makanan dalam tubuh serta banyak macam reaksi lain yang apabila dilakukan di dalam laboratorium membutuhkan keahlian khusus serta waktu yang lama serta dapat berlangsung dengan baik. Reaksi atau proses kimia yang berlangsung baik dalam tubuh kita ini dimungkinkan karena adanya katalis yang disebut enzim .
Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi) dalam suatu reaksi kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-zat yang bereaksi dan dengan demikian mempercepat proses reaksi. Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi .
Enzim terdiri dari apoenzim dan gugus prostetik. Apoenzim adalah bagian enzim yang tersusun atas protein. Gugus prostetik adalah bagian enzim yang tidak tersusun atas protein. Gugus prostetik dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu koenzim (tersusun dari bahan organik) dan kofaktor (tersusun dari bahan anorganik) .
Enzim adalah suatu protein yang dihasilkan oleh sel-sel hidup yang mampu mempercepat transformasi kimia khusus, seperti hidrolisis, oksidasi, atau reduksi. Dalam proses tersebut, enzim tidak mngalami perubahan sehingga anzim berperan sebagai katalisator biologis. Setiap enzim adalah suatu molekul protein yang kompleks, memiliki bagian yang aktif secara enzimatik, berbentuk globular. Stiap sel dapat memiliki ribuan jenis enzim yang mengkatalisis ribuan reaksi yang terjadi di dalam sel maupun diluar sel. Misalnya enzim mengkatalisis sintesis zat-zat, mengkatalisis otot, membantu gerakan molekul-molekul menembus membran, mengkatalisis pencernaan dan absorpsi makanan. Enzim bersifat spesifik untuk substrat tertentu sehingga enzim jenis ini dapat bekerja pada banyak substrat yang memiliki ikatan tertentu .

Menurut Sudjino , sifat-sifat enzi adalah:
1. Enzim merupakan biokatalisator. Enzim dalam jumlah sedikit saja dapat mempercepat reaksi beribu kali lipat, tetapi ia sendiri tidak ikut bereaksi.
2. Enzim bekerja secara spesifik. Enzim tidak dapat bekerja pada semua substrat, tetapi hanya bekerja pada substrat tertentu saja.
3. Enzim berupa koloid. Enzim adalah protein sehingga dalam larutan enzim membentuk suatu koloid. Hal ini menambah luas bidang permukaan enzim sehingga aktivitasnya lebih besar.
4. Enzim dapat bereaksi dengan substrat asam maupun basa.
5. Enzim bersifat reversible (bolak-balik)
6. Enzim bersifat termolabil.
Enzim bekerja dengan dua cara, yaitu menurut Teori Kunci-Gembok (Lock and Key Theory) dan Teori Kecocokan Induksi (Induced Fit Theory). Menurut teori kunci-gembok, terjadinya reaksi antara substrat dengan enzim karena adanya kesesuaian bentuk ruang antara substrat dengan situs aktif (active site) dari enzim, sehingga sisi aktif enzim cenderung kaku. Substrat berperan sebagai kunci masuk ke dalam situs aktif, yang berperan sebagai gembok, sehingga terjadi kompleks enzim-substrat. Pada saat ikatan kompleks enzim-substrat terputus, produk hasil reaksi akan dilepas dan enzim akan kembali pada konfigurasi semula. Berbeda dengan teori kunci gembok, menurut teori kecocokan induksi reaksi antara enzim dengan substrat berlangsung karena adanya induksi substrat terhadap situs aktif enzim sedemikian rupa sehingga keduanya merupakan struktur yang komplemen atau saling melengkapi. Menurut teori ini situs aktif tidak bersifat kaku, tetapi lebih fleksibel .
Menurut Isnan Mulia , Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja enzim diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Suhu
Enzim tidak dapat bekerja secara optimal apabila suhu lingkungan terlalu rendah atau terlalu tinggi. Jika suhu lingkungan mencapai 0° C atau lebih rendah lagi, enzim tidak aktif. Jika suhu lingkungan mencapai 40° C atau lebih, enzim akan mengalami denaturasi (rusak). Suhu optimal enzim bagi masing-masing organisme berbeda-beda. Untuk hewan berdarah dingin, suhu optimal enzim adalah 25° C, sementara suhu optimal hewan berdarah panas, termasuk manusia, adalah 37° C.
2. pH (Tingkat Keasaman)
Setiap enzim mempunyai pH optimal masing-masing, sesuai dengan “tempat kerja”-nya. Misalnya enzim pepsin, karena bekerja di lambung yang bersuasana asam, memiliki pH optimal 2. Contoh lain, enzim ptialin, karena bekerja di mulut yang bersuasana basa, memiliki pH optimal 7,5-8.
3. Aktivator dan Inhibitor
Aktivator adalah zat yang dapat mengaktifkan dan menggiatkan kerja enzim. Contohnya ion klorida, yang dapat mengaktifkan enzim amilase.
Inhibitor adalah zat yang dapat menghambat kerja enzim. Berdasarkan cara kerjanya, inhibitor terbagi dua, inhibitor kompetitif dan inhibitor nonkompetitif. Inhibitor kompetitif adalah inhibitor yang bersaing aktif dengan substrat untuk mendapatkan situs aktif enzim, contohnya sianida bersaing dengan oksigen dalam pengikatan Hb. Sementara itu, inhibitor nonkompetitif adalah inhibitor yang melekat pada sisi lain selain situs aktif pada enzim, yang lama kelamaan dapat mengubah sisi aktif enzim.
4. Konsentrasi enzim dan substrat
Semakin tinggi konsentrasi enzim akan semakin mempercepat terjadinya reaksi. Dan konsentrasi enzim berbanding lurus dengan kecepatan reaksi. Jika sudah mencapai titik jenuhnya, maka konsentrasi substrat berbanding terbalik dengan kecepatan reaksi.

Kultur Kalus

Posted in Kultur Jaringan pada 13:11 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

BAB I
PENDAHULUAN

Teknik budidaya tanaman dengan menggunakan metode konvensional dalam medium tanah atau pasir seringkali menghadapi kendala teknis, lingkungan maupun waktu. Sebagai contoh perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji memerlukan waktu yang relative lama dan seringkali hasilnya tidak seperti tanaman induknya. Kendala lain yang juga sering muncul adalah gangguan alam, baik yang disebabkan oleh jasad hidup, misalnya hama dan penyakit, maupun cekaman lingkungan yang dapat mengganggu keberhasilan perbanyakan tanaman di lapangan. Kebutuhan akan bibit tanaman dalam jumlah besar, berkualitas, bebas hama dan penyakit serta harus tersedia dalam waktu singkat seringkali tidak dapat dipenuhi dengan menggunakan metode konvensional baik secara generatif maupun vegetatif.
Pada tahun 1901 Morgan mengemukakan bahwa setiap sel mempunyai kemampuan untuk berkembang menjadi suatu jasad hidup yang lengkap melalui proses regenerasi. Kemampuan ini oleh morgan disebut sebagai totipotensi (totipotency). Konsep totipotensi tersebut mempunyai makna sangat penting dalam bidang kultur jaringan. Istilah kultur jaringan mengacu pada teknik untuk menumbuhkan jasad multiseluler dalam medium padat maupun cair menggunakan jaringan yang diambil dari jasad tersebut. Teknik kultur jaringan tersebut dilakukan sebagai alternative perbanyakan tanaman bukan dengan menggunakan media tanah, melainkan dalam medium buatan di dalam tabung.teknik ini sekarang sudah berkembang luas sehingga bagian tanaman yang digunakan sebagai awal perbanyakan tidak hanya berupa jaringan melainkan juga dalam bentuk sel sehingga juga dikenal teknik kultur sel.
Berdasar dari hal tersebut diatas, maka diadakanlah penulisan makalah ini dengan tujuan untuk mengetahui teknik kultur jaringan tumbuhan dengann menggunakan kultur kalus atau kutur sel.

BAB II
PEMBAHASAN

Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri & bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Teknik kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi teknik perkembangbiakan tanaman yang sangat penting pada berbagai spesies tanaman.
Kultur jaringan tanaman pertama kali berhasil dilakukan ole White pada tahun 1934. Pada tahun 1939, Whiter melaporkan keberhasilannya dalam membuat kultur kalus dari wortel dan tembakau. Pada tahun 1957, tulisan penting Skoog dan Miller dipublikasikan dimana mereka menyatakan bahwa interkasi kuantitatif antara auksin dan sitokinin menentukan tipe pertumbuhan dan morfogenik yang akan terjadi. Penelitian mereka pada tembakau mengindikasikan bahwa perbandingan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi pengakaran, sedangkan rasio sebaliknya akan menginduksi pembentukan tunas. Akan tetapi pola respon ini tidak berlaku universal.
Temuan penting lainnya adalah hasil penelitian Morel tentang perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan pada tahun 1960, dan penggunaan yang meluas media kultur dengan konsentrasi garam mineral yang tinggi, dikembangkan oleh Murashige dan Skoog tahun 1962.
Teknik kultur jaringan selain perbanyakan mikro umumnya memerlukan pelaksanaan yang lebih canggih tapi memberi keuntungan yang lebih besar di masa depan. Beberapa teknik sudah menjadi alat berharga untuk mengeliminai penyakit dan perbaikan tanaman, termasuk ‘rekayasa genetika’.
Kultur jaringan tanaman mencakup : kultur sel, kultur jaringan, kultur organ, proses proliferasi, diferensiasi dan regenerasi, medium kultur dan faktor pertumbuhan lain, perbanyakan klonal, teknik sanitasi tanaman, serta penyelamatan plasma nutfah.
Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur in-vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur sel.
Kultur kalus merupakan pemeliharaan bagian kecil tanaman dalam lingkungan buatan yang steril dan kondisi yang terkontrol. Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang berproliferasi secara terus menerus dan tidak terorganisasi sehingga memberikan penampilan sebagai massa sel yang bentuknya tidak teratur. Proliferasi jaringan ini dapat dilakukan secara tidak terbatas dengan cara melakukan subkultur sepotong kecil jaringan kalus pada medium yang segar dengan interval waktu yang teratur.
Penelitian pembentukan kalus pada jaringan terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960. Pembentukan kalus pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin endogen (Dodds & Roberts, 1983). Secara in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikro organisme seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1984). Kalus yang diakibatkan oleh hasil dari infeksi bakteri Agrobacterium tumefaciens disebut tumor.
Kalus adalah jaringan meristematik yang merupakan wujud dari dediferensiasi. Dalam kultur jaringan menginduksi terbentuknya kalus merupakan langkah yang penting. Setelah terbentuknya kalus baru diberikan perlakuan/rangsangan untuk berdiferensiasi membentuk akar atau tunas.
Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak dirinya (massa selnya) secara terus menerus.

Gambar: Kalus.

Jika suatu eksplan ditanam pada medium yang sesuai, dalam waktu 2-4 minggu, tergantung spesiesnya, akan terbentuk massa kalus yaitu massa amorf yang tersusun atas sel-sel parenkim berdinding sel tipis yang berkembang dari hasil proliferasi sel-sel jaringan induk. Kalus dapat disubkultur dengan cara mengambil sebagian kalus dan memindahkannya pada medium baru. Dengan sistem induksi yang tepat, kalus dapat berkembang menjadi tanaman yang utuh (plantlet).
Kultur kalus dapat dikembangkan dengan menggunakan eksplan yang berasal dari berbagai sumber, misalnya tunas muda, daun, ujung akar, buah, dan bagian bunga. Kalus dihasilkan dari lapisan luar sel-sel korteks pada eksplan melalui pembelahan sel-sel berulang. Kultur kalus tumbuh berkembang lebih lambat dibanding kultur yang berasal dari suspensi sel. Kalus terbentuk melalui tiga tahapan, yaitu induksi, pembelahan sel, dan diferensiasi. Pembentukan kalus ditentukan sumber eksplan, komposisi nutrisi pada medium dan faktor lingkungan.eksplan yang berasal dari jaringan meristem berkembang lebih cepat dibanding jaringan dari sel-sel berdinding tipis dan mengandung lignin. Untuk memelihara kalus, maka perlu dilakukan subkultur secara berkala, misalnya setiap 30 hari.
Sel yang berasal dari tanaman apapun dapat dibiakkan atau dikulturkan secara aseptic pada atau dalam medium hara. Kultur biasanya dimulai dengan menanamkan satu iris jaringan steril pada medium hara yang dipadatkan dengan agar. Dalam waktu 2-3 minggu akan berbentuk kalus. Kalus semacam ini dapat disubkulturkan dengan memindahkan potongan kecil pada medium agar segar. Proses terbentuknya kalus sampai terjadi diferensiasi berbeda-beda tergantung macam dan bagian tanaman yang dipakai untuk eksplan, bahan kimia atau hormon yang terkandung pada media kultur.

Gambar: kalus yang terbentuk pada minggu kedua

Dalam perbanyakan mikro, produksi kalus biasanya dihindari karena dapat menimbulkan variasi dan, terutama pada zona perakaran, mengakibatkan diskontinyuitas dengan sitem berkas pengangkut utama. Kadang-kadang eksplan menghasilkan kalus, bukan tunas baru, khususnya jika diberikan hormon dengan konsentrasi tinggi pada media. Dalam hal lain, kalus sengaja diinduksi karena potensinya untuk produksi massal plantlet baru. Faktor pembatasnya adalah sulitnya menginduksi inisiasi tunas baru, terutama pada tanaman berkayu dan tingginya kejadian mutasi somatik.
Potensi terbesar penggunaan kultur kalus adalah dimana sel–sel kalus dapat dipisahkan dan diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi embrio somatic. Secara morphologi, embryo ini mirip dengan yang ada pada biji, tapi tidak seperti embrio biji, mereka secara genetik bersifat identik dengan tanaman tetua, jadi, segregasi seksual materi genetik tidak terjadi. Karena 1 milimeter kalus berisi ribuan sel, masing–masing memiliki kemampuan untuk membentuk embrio, sehingga kecepatan multiplikasi sangat tinggi.
Kultur kalus dapat dilakukan pada media cair dan embrio berkembang sebagai individu terpisah, sehingga penanganan kultur relatif mudah.
Kultur kalus bermanfaat untuk mempelajari beberapa aspek dalam metabolisme tumbuhan dan diferensiasinya, misalnya:
1. Mempelajari aspek nutrisi tanaman.
2. Dalam beberapa hal, perlu fase pertumbuhan kalus sebelum regenerasi via somatic embryogenesis atau organogenesis.
Embrio aseksual atau embrio somatik (somatic embryo) adalah embrio yang terbentuk bukan dari penyatuan sel-sel gamet jantan dan betina atau dengan kata lain embrio yang terbentuk dari jaringan vegetatif/somatik. Embrio ini dapat terbentuk dari jaringan tanaman yang dikulturkan tanpa melalui proses yang dikenal dengan nama somatic embryogenesis. Jika proses ini terbentuk langsung pada eksplan tanpa melalui proses pembentukan kalus terlebih dahulu, maka prosesnya disebut somatic embryogenesis langsung (direct somatic embryogenesis).
3. Untuk menghasilkan varian somaklonal (genetic atau epigenetic).
4. Sebagai bahan awal kultur protoplast dan kultur suspensi.
5. Untuk produksi metabolit sekunder dan regulasinya.
6. Transformasi genetik menggunakan teknik biolistik.
7. Digunakan untuk seleksi in-vitro.
Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular, parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet.
Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambil, seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau, atau kuning kejingga-jingaan. (karena adanya pigmen antosianin ini terdapat pada kalus kortek umbi wortel).
Dalam kultur kalus, kalus homogen yang tersusun atas sel-sel parenkim jarang dijumpai kecuali pada kultur sel Agave dan Rosa (Narayanaswany (1977 dalam Dodds & Roberts, 1983). Untuk memperoleh kalus yang homogen maka harus menggunakan eksplan jaringan yang mempunyai sel-sel yang seragam. Dalam pertumbuhan kalus, citodiferensiasi terjadi untuk membentuk elemen trachea, buluh tapis, sel gabus, sel sekresi dan trikoma. Kambium dan periderm sebagai contoh dari proses hitogenesis dari kultur kalus. Anyaman kecil dari pembelahan sel-sel membentuk meristemoid atau nodul vaskular yang nantinya menjadi pusat dari pembentukan tunas apikal, primordial akar atau embrioid.
Pada umumnya untuk eksplan yang mempunyai kambium tidak perlu penambahan ZPT untuk menginduksi terbentuknya kalus karena secara alamiah pada jaringan berkambium yang mengalami luka akan tumbuh kalus untuk menutupi luka yang terbuka. Namun pada kasus lain, menurut Kordan (1959 dalam Dodds & Robert, 1983) keberadaan kambium di dalam eksplan tertentu dapat menghambat pertumbuhan kalus bila tanpa penambahan zat pengatur tumbuh eksogen. Penambahan ZPT tersebut dapat satu macam atau lebih tergantung dari jenis eksplan yang digunakan. Pembelahan sel di dalam eksplan dapat terjadi tergantung dari ZPT yang digunakan, seperti auksin, sitokinin, auksin dan sitokinin, dan ekstrak senyawa organik komplek alamiah.
Berdasarkan kebutuhan akan zat pengatur tumbuh untuk membentuk kalus, jaringan tanaman digolongkan dalam 4 kelompok:
1) Jaringan tanaman yang membutuhkan hanya auksin selain gula dan garam-garam mineral untuk dapat membentuk kalus seperti umbi artichoke
2) Jaringan yang memerlukan auksin dan sitokinin selain gula dan garam-garam mineral
3) Jaringan yang tidak perlu auksin dan sitokinin, hanya gula dan garam-garam mineral seperti jaringan kambium
4) Jaringan yang membentuk hanya sitokinin, gula dan garam-garam mineral seperti parenkim dan xylem akar turnip.
Pada umumnya kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan tergantung juga dari:
1) Umur fisiologi dari jaringan waktu diisolasi
2) Musim pada waktu bahan tanaman diisolasi
3) Bagian tanaman yang dipakai
4) Jenis tanaman.
Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Jenis tanaman yang menghasilkan kalus, meliputi dikotil berdaun lebar, monokotil, gymnospermae, pakis dan moss. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan menghasilkan kalus.
Pada perbanyakan tanaman hortikultura, dianjurkan melalui tunas aksilair, karena dapat menghasilkan bibit yang true-to-type ( sesuai dengan sifat induknya ). Tunas adventif , terutama yang melalui fase kalus, tidak dianjurkan dalam perbanyakan tanaman hortikultura, kecuali untuk tujuan seleksi dan variasi. Tunas adventif langsung, juga menunjukkan kemungkinan variasi, hanya dalam taraf lebih rendah daripada regenerasi melalui fase kalus
Suatu sifat yang diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel di tengah tetap quiscent. Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel hanya terbatas di lapisan luar dari jaringan kalus, adalah:
1. Ketersediaan oksigen yang lebih tinggi
2. Keluarnya gas CO2
3. Ketersediaan hara yang lebih banyak
4. Penghambat yang bersifat folatik lebih cepat menguap
5. Cahaya
Dalam mempelajari proses pembentukan kalus sebagai akibat perlakuan, empat lapisan sel yang berbeda dalam wortel yang dikultur pada berbagai media. Lapisan-lapisan sel yang berbeda terlihat jelas tiga hari setelah kultur terdiri:
1) Lapisan luar dengan sel-sel yang pecah
2) Lapisan kedua terdiri dari dua lapisan sel dorman
3) Lapisan dengan sel yang aktif membelah, terdiri dari 1-6 lapis
4) Lapisan tengah (core) yang sel-selnya tidak membelah.
Induksi kalus dalam jaringan wortel ini, disertai dengan aktifitas enzim-enzim NAD-diaphorase succinic dehydrogenase dan cytochrome oxidase yang meningkat. Kenaikan aktifitas enzim terutama dalam lapisan sel yang sedang membelah. Dalam jaringan ini juga ditemukan aktifitas asam fosfatase. Pada kultur artichoke, enzim fosfatase diditeksi pada permukaan sel-sel yang tidak membelah. Menurut hipotesa Yeoman pada tahun 1970, asam fosfatase berhubungan dengan sel rusak dan enzim ini adalah index autolysis sel. Pada sel yang rusak tapi tidak pecah di lapisan perisfer, terjadi autolisis dan sel-sel yang rusak tersebut mengeluarkan persenyawaan yang dapat memacu pembelahan sel di lapisan berikutnya.
Eksplan batang, akar dan daun menghasilkan kalus yang heterogen dengan berbagai macam sel. Kadang-kadang jaringan yang kelihatannya seragam histologinya, ternyata menghasilkan kalus dengan sel yang mempunyai DNA yang berbeda yang mencerminkan level ploidi yang berbeda. Begitupun pada kultur akar kalus yang dihasilkan dapat berupa campuran sel dengan tingkat ploidi yang berbeda.
Sel-sel yang heterogen dari jaringan yang komplek menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan mengubah komposisi media, terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai sifat khusus. Hal ini berarti bahwa media tumbuh menentukan komposisi kalus. Sel yang jumlahnya paling banyak merupakan sel-sel yang paling cepat membelah dan sel yang paling sedikit adalah sel yang paling lambat pertumbuhannya. Media seleksi dapat berdasarkan unsur-unsur hara atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media.
Sel heterogen berasal dari materi asal yang heterogen pula, atau dapat terjadi karena massa kultur yang panjang melalui sub kultur yang berkali-kali. Perubahan yang terjadi dapat merupakan:
a. Aberasi kromosom
b. endo-reduplikasi yang menghasilkan poloploidi
c. Amplifikasi gen, jumlah gen untuk suatu sifat tertentu per genome haploid bertambah
d. Hilangnya suatu gen (deletion)
e. Mutasi gen
f. Transposisi urutan DNA (DNA sequences transposition).
Agar kalus dapat dijaga pertumbuhannya dan dapat diperbanyak secara berkesinambungan, maka perlu dipindahkan secara teratur pada media baru dalam jangka waktu terentu (subkultur). Apabila kalus disubkultur pada media agar yang dilakukan secara regular, maka akan menunjukkan fase pertumbuhan kurva S (sigmoid). Phillips et al., (1995) membagi lima fase pertumbuhan kalus, yaitu:
1) Fase lag, dimana sel-sel mulai membelah.
2) Fase eksponensial, dimana laju pembelahan sel berada pada puncaknya.
3) Fase linear, dimana pembelahan sel mengalami perlambatan tetapi laju ekspansi sel meningkat.
4) Fase deselerasi, dimana laju pembelahan dan pemanjangan sel menurun.
5) Fase stationer, dimana jumlah dan ukuran sel tetap.
Kecepatan perubahan-perubahan dalam kromosom ini, tergantung juga dari macam media yang digunakan, serta jenis tanamannya. Ketidakstabilan kromosom ini menyulitkan aplikasi kultur kalus untuk perbanyakan maupun untuk produksi bahan-bahan/persenyawaan sekunder. Sebaliknya ketidak-stabilan tersebut dapat dipergunakan dalam seleksi dan pemuliaan invitro, untuk memperoleh sifat-sifat baru yang menguntungkan seperti resistensi terhadap penyakit, hilangnya morfologi yang memang tidak diinginkan seperti duri atau warna pada bunga.
Kalus yang tumbuh secara invivo pada batang tanaman biasanya disebut dengan tumor, ciri-ciri tumor adalah sebagai berikut:
1) Terjadi penyakit yang infeksinya melalui luka (Crown gall disease)
2) Jaringan tumor yang terjadi dapat tumbuh terus, walaupun penyebabnya yang berupa bakteri Agrobacterium tumefacien telah dihilangkan
3) Tumor ini bila ditumbuhkan pada media buatan tidak memerlukan auksin maupun sitokinin. Ketidaktergantungan jaringan tanaman untuk tumbuh dan terus membelah disebut habituation.
Massa kultur yang ditumbuhkan terlalu lama dalam media yang tetap, akan menyebabkan terjadinya kehabisan hara dan air. Kehabisan hara dan air dapat terjadi karena selain terhisap untuk pertumbuhan juga karena media menguapkan air dari masa ke masa. Kalus tersebut kecuali kehabisan unsur hara, kalus juga mengeluarkan persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri. Untuk menjaga kehidupan dan perbanyakan yang berkesinambungan, kalus yang dihasilkan perlu disubkulturkan.
Street (1969 dalam Dodds & Robert 1983) menyarankan massa sel yang dipindahkan pada subkultur harus cukup banyak antara 5-10 mm atau seberat 20-100 mg, supaya ada pertumbuhan yang cepat dalam media baru. Subkultur sebaiknya dilakukan 28 hari sekali (4-6 minggu sekali). Namun waktu yang tepat untuk memindahkan kultur, tergantung dari kecepatan pertumbuhan kalus. Massa kalus ada 2 macam yaitu massa yang remah (friable) dan kompak. Bila massa kalus remah maka pemindahan kalus cukup dilakukan dengan menyendok kalus dengan spatula atau skapel langsung disubkultur ke media baru. Namun bila kalus kompak mesti dipindah ke petridish steril untuk dipotong-potong dengan skapel baru disubkultur ke media baru. Kalus yang sudah mengalami nekrosis (pencoklatan) sebaiknya tidak ikut disubkultur karena tidak akan tumbuh dengan baik.
Inti keberhasilan system in vitro tergantung pada kemampuan manipulasi regenerasi melalui pengaturan komposisi medium, lingkungan, dan sumber eksplan. Regenerasi eksplan dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu (1) pembentukan pucuk adventif langsung dari permukaan eksplan, (2) pembentukan pucuk adventif melalui fase kalus, (3) pembentukan embrio somatic langsung dari eksplan, (4) pembentukan embrio somatic melalui fase kalus, dan (5) pembentukan protocorm-like bodies(khusus pada anggrek).
Regenerasi tanaman setelah melalui fase kalus , dapat terjadi melalui salah satu dari keadaan di bawah ini.
1. Regenerasi melalui dua langkah prosedur:
a. Masa inkubasi pada medium yang mengandung auksin + sitokinin,
b. Masa regenerasi dengan memindahkan kalus ke medium tanpa auksin tapi mengandung sitokinin
2. Regenerasi terjadi melalui medium dengan perbandingan sitokinin dan auksin yang tepat. Pada Solanaceae dibutuhjan sitokinin lebih tinggi daripada auksin.
3. Regenerasi terjadi pada konsentrasi absolute auksin dan sitokinin tertentu, misalnya NAA 2 µM + kinetin 2µM.
4. Regenerasi terjadi pada kalus yang diinduksi dengan jenis auksin tertentu, misalnya asparagus dengan NAA atau IAA, bukan 2,4-D.
5. Regenerasi terjadi bila ada penambahan zat-zat tertentu, misalnya ABA atau giberelin.

MUTASI KALUS
Mutasi kalus adalah teknik kultur jaringan untuk menghasilkan individu baru yang bersifat lain dari induknya melalui cara-cara trial and error dan pasti.
Trial and error merupakan teknik coba-coba karena hasilnya baru diketahui setelah individu dewasa. Cara ini dengan menggunakkan radiasi sinar X, pemanasan gelombang mikro dan pemanasan dengan alat solder. Individu yang dihasilkan biasanya menyimpang dari induknya sehingga memberikkan nilai plus (mutan atau albino)
Teknik yang memberikan kepastian terhadap percobaaan yang diinginkan dapat dari kalus yang ditanam dimedia yang sengaja diberi kondisi yang tidak diinginkan sehingga jika kalus tersebut bisa bertahan, maka individu yang dihasilkan akan resisten terhadap kondisi yang tidak diinginkan tersebut.
Teknik mutasi anggrek di dalam kultur bertujuan untuk meningkatkan peluang mutasi dengan cara memberikan perlakuan atau rangsangan yang dapat berupa bahan kimia, fisik/ lingkungan atau radiasi. Mutasi anggrek diharapkan akan memeri peluang munculnya sifat-sifat anggrek yang baru yang belum ada sebelumnya yang mempunyai nilai komersial.
Bahan kultur anggrek yang biasa digunakan untuk perlakuan mutasi adalah kalusnya. Setelah Anda mempunyai stok kalus anggrek tertentu maka kalus tersebut diberi perlakuan mutasi dan kemudian diamati mana yang memperlihatkan pertumbuhan yang berbeda dan memperlihatkan sifat yang baik.
Untuk pemberian perlakuan radiasi maka anda dapat membawa spesimen kalus anggrek Anda ke BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) yang berlokasi di Pasar Jumat Jakarta Selatan. Setelah itu biarkan kalus-kalus tersebut tumbuh dan diperbanyak sampai jumlah yang memadai. Kemudian sebagian diakarkan dan ditumbuhkan sampai besar.
Kemudian dicari anggrek mana yang memperlihatkan mutasi dengan sifat yang baik dan mempunyai nilai komersial yang tinggi. Memang dalam hal ini kita tidak dapat mengontrol arah mutasi atau kita tidak dapat mengatur mutasi ke arah sifat yang kita harapkan/inginkan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kultur kalus merupakan pemeliharaan bagian kecil tanaman dalam lingkungan buatan yang steril dan kondisi yang terkontrol.
2. Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus.
3. Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak dirinya (massa selnya) secara terus menerus.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diajukan pada penulisan makalah ini yaitu, sangat dibutuhkan banyaknya referensi yang relevan dari berbagai sumber sehingga mempermudah dalam penyusunan makalah ini. Selain itu, agar bisa dijadikan sebagai pustaka untuk penyusunan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Adriana. Kalus. Blog Tissue Culture. http://kasopondok.blogspot.com/2010/03/kalus.html (21 Mei 2010).

Alfian, Ahmad. Media Kultur Jaringan. Blog Ahmadalvian. http://ahmadalvian.blogspot.com (21 Mei 2010)

Constabel, F. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Bandung: Penerbit ITB Bandung, 1991.

Idaizon. Kultur Kalus dan Kultur Suspensi Sel. Blog Idaizon’s Home. http://idaizon.wordpress.com/2008/09/23/kultur-kalus-dan-kultur-suspensi-sel.html (21 Mei 2010).

Luri, Sepdian. Kultur Kalus. Blog Kultur-jaringan.blogspot.com. http://kultur-jaringan.blogspot.com/2009/08/kultur-kalus_html/ (21 Mei 2010)

Sandra, Edhi. Kultur Jaringan Eshaflora: Mutasi Kalus. Blog Catalog. http://eshaflora.blogspot.com/2010/03/mutasi-kalus.html (21 Mei 2010).

Surono, Agung. Multiplikasi Tunas Pisang Ambon secara In Vitro dengan Menggunakan Medium Murashige dan Skoog dengan Penambahan Hormon Benzylaminopurin dan Kinetin. Blog Tissue Culture and Orchidologi. http://tissuecultureandorchidologi.blogspot.com. (21 Mei 2010).

Yuwono, Tribowo. Bioteknologi Pertanian. Cetakan kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.

Zulkarnain. Kultur Jaringan Tanaman. Cetakan Pertama; Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009.

“Kultur Jaringan”. Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/kultur-jaringan. (21 Mei 2010).

“Kultur Jaringan Tanaman”. Bioteknologi Fakultas Pertanian. http://www.fp.unud.ac.id/biotek/kultur-jaringan-tanaman/ (21 Mei 2010).

8 Desember 2009

Laporan Praktikum “Sterilisasi”

Posted in Mikrobiologi Umum pada 19:53 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sterilisasi adalah cara untuk mendapatkan suatu kondisi bebas mikroba atau setiap proses yang dilakukan baik secara fisika, kimia, dan mekanik untuk membunuh semua bentuk kehidupan terutama mikroorganisme. Dalam bidang mikrobiologi baik dalam pengerjaan penelitian atau praktikum, keadaan steril merupakan syarat utama berhasil atau tidaknya pekerjaan kita dilaboratorium.
Pengetahuan tentang prinsip dasar sterilisasi dan desinfeksi sangat diperlukan untuk melakukan pekerjaan di bidang medis yang bertanggung jawab. Cara sterilisasi dan desinfeksi yang baru banyak diperkenalkan, namun masih tetap digunakan cara-cara dan beberapa bahan seperti digunakan berabad lalu.
Berdasar dari hal tersebut diatas, maka diadakanlah praktikum “Sterilisasi” ini guna memberikan pemahaman kepada kita tentang hal-hal yang berkaitan dengan sterilisasi serta menambah pengetahuan dan keterampilan kita tentang teknik atau tata cara sterilisasi dalam mikrobiologi.
B. Tujuan
Adapun tujuan diadakannya praktikum sterilisasi ini yaitu untuk mengetahui teknik sterilisasi alat-alat mikrobiologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kajian mikrobiologi membutuhkan metode yang tepat untuk pengamatan mikrobia. Metode mikroskopik dan kemampuan mengkultur mikrobia merupakan metodologi dasar yang dilakukan para ahli mikrobiologi untuk mempelajari struktur, sifat-sifat fisiologisnya (metabolisme dan pertumbuhan) serta mengungkapkan keragaman mikrobia. Penggunaan dan pengembangan alat-alat mikroskopik, kultur murni, metode molekuler dan immunologis memungkinkan peneliti melakukan pengujian yang pada akhirnya berhasil membuat temuan-temuan baru dibidang tersebut. Kemajuan dalam bidang metodologi ini telah mengungkap pemahaman sifat-sifat dasar mikrobia serta aspek-aspek yang berkenaan dengan teknik dan metodologi penelitian mikroba.
Salah satu bagian yang penting dalam mikrobiologi adalah pengetahuan tentang cara-cara mematikan, menyingkirkan, dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Cara yang digunakan untuk menghancurkan, menghambat pertumbuhan dan menyingkirkan mikroorganisme berbeda-beda tergantung pada spesies yang dihadapi. Selain itu lingkungan dan tempat mikroba ini pun berbeda-beda misalnya dalam darah, makanan, air, sampah, riol, dan tanah. Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan cara untuk menghancurkan mikroorganisme yang digunakan tergantung pada pengetahuan, keterampilan, dan tujuan dari yang melaksanakannya, sebab tiap situasi yang dihadapi merupakan kenyataan dasar yang dapat menuntun pada cara atau prosedur yang harus dilakukan.
Tujuan utama mematikan, menyingkirkan, atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme adalah sebagai berikut:
1. Untuk mencegah infeksi pada manusia, hewan piaraan, dan tumbuhan.
2. Untuk mencegah makanan dan lain-lain komoditi menjadi rusak.
3. Untuk mencegah gangguan kontaminasi terhadap mikroorganisme yang digunakan dalam industri, hasilnya tergantung pada kemurnian penggunaan biakan murni.
4. Untuk mencegah kontaminasi bahan-bahan yang dipakai dalam pengerjaan biakan murni di laboratorium (diagnosis, penelitian, industri), sehingga pengamatan tentang pertumbuhan satu organisme pada medium pembiakan khusus atau pada hewan percobaan membingungkan karena adanya organisme lain yang tumbuh.
Beberapa istilah serta pengertian yang digunakan dalam pembicaraan masalah mematikan, menghambat pertumbuhan, dan menyingkirkan mikroorganisme adalah sebagai berikut:
1. Sterilisasi
Sterilisasi dalam mikrobiologi berarti membebaskan tiap benda atau substansi dari semua kehidupan dalam bentuk apapun. Untuk tujuan mikrobiologi dalam usaha mendapatkan keadaan steril, mikroorganisme dapat dimatikan setempat (in situ) oleh panas (kalor), gas-gas seperti formaldehide, etilenoksida atau betapriolakton oleh bermacam-macam larutan kimia; oleh sinar lembayung ultra atau sinar gamma. Mikroorganisme juga dapat disingkirkan secara mekanik oleh sentrifugasi kecepatan tinggi atau oleh filtrasi.
2. Disinfeksi
Disinfeksi berarti mematikan atau menyingkirkan organisme yang dapat menyebabkan infeksi. Meskipun dengan melakukan disinfeksi dapat tercapai keadaan steril, namun tidak seharusnya terkandung anti sterilisasi. Disinfeksi biasanya dilaksanakan dengan menggunakan zat-zat kimia seperti fenol, formaldehide, klor, iodium atau sublimat. Pada susu, disinfeksi (bukan sterilisasi) dilakukan dengan pasteurisasi. Pada umumnya disinfeksi dimaksudkan untuk mematikan sel-sel vegetatif yang lebih sensitif tetapi bukan spora-spora yang tahan panas.
3. Desinfektan
Disinfektan adalah bahan yang digunakan untuk melaksanakan disinfeksi. Seringkali sebagai sinonim digunakan istilah antiseptik, tetapi pengertian disinfeksi dan disifektan biasanya ditujukan terhadap benda-benda mati, seperti lantai, piring, pakaian.
4. Antiseptika
Antiseptika pada umumnya dimaksudkan bahan-bahan yang mematikan atau menghambat mikroorganisme, khususnya yang berkontak dengan tubuh tanpa mengakibatkan kerusakan besar pada jaringan. Untuk digunakan sebagai antiseptika, kebanyakan disinfektan terlalu dekstruktif terhadap jaringan.
5. Bakteriostatika
Bakteriostatika, istilah ini mengandung arti mempunyai sifat menghambat multiplikasi, akan tetapi bila zat penghambat itu telah dihilangkan, maka multiplikasi dilanjutkan kembali.
6. Bakterisida
Bakterisida adalah setiap zat atau agen yang dapat membunuh atau memusnahkan bakteri. Contoh yang lazim meliputi beberapa antibiotika, antiseptika, dan disinfektan.
7. Asepsis
Dalam arti sempit asepsis menunjukkan pada keadaan dimana tidak adanya mikroorganisme dalam jaringan hidup atau dengan kata lain tidak ada sepsis (pembusukan). Tetapi istilah asepsis biasanya digunakan untuk teknik pengerjaan dalam menghindarkan adanya mikroorganisme yang tidak dikehendaki terdapat dalam lingkungan pengamatan itu.
Sterilisasi merupakan metode praktis yang dirancang untuk membersihkan dari mikroorganisme atau sengaja untuk menghambat pertumbuhannya yang nyata dari kepentingan dasar dibanyak keadaan. Jenis dari mikroorganisme sangat berbeda dalam kelemahannya terdapat berbagai macam agen antimikroba dan lebih banyak lagi, efek yang praktis dari agen ini pada adanya keadaan nyata yang sangat besar dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Banyak yang akan bertahan, contohnya, pada cuaca tertentu organisme memiliki kulit, pada beberapa tubuh zat cair atau pada udara, Air, makanan, kotoran, atau ruangan berdebu. Caranya harus dirubah, oleh karena itu, dengan masalah nyata. Hal ini tidak mungkin, bagaimanapun pada garis besarnya tentunya prinsip dasar digarisbawahi pada umumnya digunakan cara untuk memusnahkan dan mengontrol kehidupan mikroba (Burdon, 1969).
Menurut Irwanto , sterilisasi dilakukan dalam 4 tahap, yaitu:
1. Pembersihan sebelum sterilisasi
2. Pembungkusan
3. Proses sterilisasi
4. Penyimpanan yang aseptik.  
Menurut Tim Dosen , sterilisasi dapat dilakukan dengan cara:
1. Sterilisasi secara fisik
Selama senyawa kimia yang disterilkan tidak berubah atau terurai akibat suhu tinggi dan atau tekanan tinggi, selama itu sterilisasi secara fisik dapat dilakukan. Misalnya dengan pemanasan udara panas, uap air, bertekanan, pemijaran, penggunaan sinar-sinar bergelombang pendek seperti sinar X, sinar gamma, UV dan sebagainya.
Pada pemanasan dengan oven dibutuhkan panas setinggi 150-170 C dengan waktu yang lebih lama dari autoklaf. Sebagai gambaran untuk mematikan spora dibutuhkan waktu dua jam dengan suhu 180 C.
Pensterilan dengan uap dalam tekanan dilakukan dalam autoklaf. Dalam otoklaf ini uap berada dalam keadaan jenuh, dan peningkatan tekanan mengakibatkan suhu yang tercapai menjadi lebih tinggi, yaitu di bawah tekanan 15ib (2 atmosfer). Suhu dapat meningkat sampai 121°C. Bila uap itu dicampur dengan udara yang sama banyak, pada tekanan yang sama, maka suhu yang tercapai hanya110°C. itu sebabnya udara dalam autoklaf harus dikeluarkan sampai habis untuk memperoleh suhu yang diinginkan (121°C). dalam suhu tersebut semua mikroorganisme, baik vegetatif maupun spora dapat dimusnahkan dalam waktu yang tidak lama, yaitu sekitar 15-20 menit.
2. Sterilisasi secara kimia
Senyawa kimia yang paling banyak digunakan sebagai disinfektan (senyawa yang dapat menghancurkan sel antara lain CuSO4, AgNO¬3, HgCl2, ZnO, alkohol dan campurannya.
3. Sterilisasi secara mekanik
Beberapa media atau bahan akan mengalami perubahan karena tidak tahan terhadap pemanasan tinggi ataupun tekanan tinggi. Dengan demikian maka sterilisasi yang efektif yaitu secara mekanik misalnya, penyaringan menggunakan filter khusus.
Sistem kerja filter, seperti pada saringan lain adalah melakukan seleksi terhadap partikel-partikel yang lewat (dalam hal ini adalah mikroba) (Suriawiria, 2005).
4. Pasteurilisasi
Cara ini biasa digunakan untuk larutan-larutan yang mudak rusak apabila terkena suhu tinggi, misal susu. Pasteurilisasi dilakukan dengan cara memanaskan bahan pada suhu 35°C selama 30 menit atau dipanaskan pada suhu 71,6-80°C selama 15-30 menit, kemudian dilakukan pendinginan cepat.
5. Tyndalisasi
Sterilisasi ini dilakukan pada suhu 100°C dan diulangi tiga kali berturut-turut dengan selang 24 jam. Cara ini biasa juga disebut sterilisasi bertahap (discontinue).
Metode ini berupa mendidihkan medium dengan uap untuk beberapa menit saja. Sehabis didiamkan satu hari – selama itu spora-spora sempat tumbuh menjadi bakteri vegetatif – maka medium tersebut didihkan lagi selama beberapa menit. Akhirnya pada hari ketiga, medium tersebut didihkan sekali lagi. Dengan jalan demikian ini diperolehlah medium yang steril, dan lagi pula zat-zat organik yang terkandung di dalamnya tidak mengalami banyak perubahan.

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum ini yaitu diadakan pada:
Hari/tanggal : Kamis/05 November 2009
Waktu : Pukul 15.00 s.d. 17.00 WITA
Tempat : Laboratorium Biologi Gedung B Lt. III
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar, Samata Gowa.

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah oven, otoklaf, cawan petri, erlenmeyer, dan kompor.
2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu air, kapas, kertas HVS, kertas koran, dan aluminium foil.

C. Prosedur Kerja
1. Sterilisasi dengan udara panas
Adapun prosedur kerja dari percobaan ini adalah:
a. Membungkus cawan petri dengan menggunakan kertas HVS
b. Meletakkan cawan yang telah dibungkus diatas rak oven
c. Memanaskan oven diatas kompor dengan temperatur 160°C-180°C selama 7 menit
d. Mematikan kompor dan membiarkan suhu oven berada pada suhu kamar kemudian mengeluarkan cawan dari oven
2. Sterilisasi dengan uap air bertekanan
Adapun prosedur kerja dari percobaan ini adalah:
a. Mengisi air pada otoklaf hingga dasar yang berlubang tempat meletakkan materi yang disterilkan.
b. Memasukkan medium atau air ke dalam erlenmeyer.
c. Menutup mulut tabung dengan menggunakan kapas.
d. Membungkus kapas penutup tabung dengan menggunakan Aluminium foil
e. Meletakkan tabung pada Otoklaf kemudian menutup otoklaf dengan cara mengencangkan sekrup penutupnya, kemudian memanaskan otoklaf diatas kompor hingga mencapai temperatur 121°C selama 15-30 menit
f. Mematikan kompor kemudian menunggu hingga otoklaf dingin sebelum membuka penutup.
1. Sterilisasi kering
Sterilisasi dengan udara panas (kering) digunakan alat yaitu Oven (Hot Air Sterilizer). Temperatur yang digunakan untuk alat ini umumnya 160-180°C selama 2 jam.
Cara ini baik digunakan terhadap alat-alat kering terbuat dari kaca seperti cawan petri, pipet, tabung reaksi, labu erlenmayer. Selain itu juga diterapkan terhadap bahan-bahan kering dalam tempat-tempat tertutup, bahan serbuk (talk, dermatol), lemak, minyak. Penyusupan panas ke dalam bahan-bahan ini berjalan lambat sekali, karena itu harus disterilkan dalam jumlah sedikit dan dalam lapisan tipis tidak lebih dari 0,5 cm dalam cawan petri.
Pada praktikum yang dilakukan, pemanasan cawan petri di dalam oven hanya berlangsung selama 7 menit dari waktu sterilisasi yang seharusnya. Hal ini disebabkan karena oven yang digunakan merupakan oven rumah tangga atau yang biasa digunakan dalam pembuatan kue. Oven ini juga memiliki pemanasan yang sangat tinggi terlebih lagi jika dilakukan pemanasan dalam waktu yang cukup lama. Tidak hanya itu, karena pengatur suhu pada oven ini juga sudah tidak berfungsi lagi, maka suhu yang digunakan pada pemanasan tidak diketahui secara pasti.
2. Sterilisasi Basah
Sterilisasi dengan uap air bertekanan, merupakan cara yang paling banyak digunakan. Pensterilan dengan uap dalam tekanan dilakukan dalam autoklaf. Material yang disterilkan umumnya berupa medium, air, dan sebagainya. Dalam otoklaf ini uap berada dalam keadaan jenuh, dan peningkatan tekanan mengakibatkan suhu yang tercapai menjadi lebih tinggi, yaitu di bawah tekanan 15ib (2 atmosfer). Suhu dapat meningkat sampai 121°C. Bila uap itu dicampur dengan udara yang sama banyak, pada tekanan yang sama, maka suhu yang tercapai hanya110°C. itu sebabnya udara dalam autoklaf harus dikeluarkan sampai habis untuk memperoleh suhu yang diinginkan (121°C). dalam suhu tersebut semua mikroorganisme, baik vegetatif maupun spora dapat dimusnahkan dalam waktu yang tidak lama, yaitu sekitar 15-20 menit.
Sterilisasi ini umumnya digunakan untuk mensterilkan bahan atau medium yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan erlenmeyer yang sebelumnya telah ditutup rapat dengan menyumbat mulut tabung dengan menggunakan kapas dan aluminium foil. Hal ini dimaksudkan agar bahan atau medium yang disterilkan tidak terkontaminasi dengan mikroorganisme dari lingkungan luar. Keuntungan cara ini adalah karena seluruh badan yang dibebashamakan bisa dikenai uap air pada temperatur dan waktu yang diperlukan.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa sterilisasi pada mikrobiologi dikenal dengan sterilisasi kering dan sterilisasai basah. Sterilisasi kering atau sterilisasi dengan udara panas dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 160-180°C terhadap bahan-bahan dan alat-alat yang tahan terhadap temperatur tinggi selama 1-2 jam. Sedangkan sterilisasi basah yaitu sterilisasi dengan uap bertekanan menggunakan autoklaf. Cara ini digunakan untuk mensterilkan bahan-bahan atau material seperti air, medium dan sebagainya dengan temperatur mencapai 120°C selama 15-30 menit

B. Saran
Pada saat melakukan praktikum, sebaiknya para pratikan betul-betul memperhatikan kesterilan setiap alat dan bahan yang akan digunakan agar mendapat hasil praktikum sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Alimuddin. Mikrobiologi Dasar Jilid 1; Makassar: State University of Makassar Press, 2005.

Bahar, Ardiansyah. “Sterilisasi Alat”. http://arbaa-fiveone.blogspot.com/2009/02/sterilisasi-alat.html (Diakses pada tanggal 07 November 2009).

Dwidjoseputro, D. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998.

Irianto, Koes. Mikrobiologi Jilid 1. Bandung: Yrama Widya, 2006

Irwanto, “Sterilisasi dan Desinfeksi”. http://irwanto-fk04usk.blogspot.com/2009/08/sterilisasi-dan-desinfeksi.html (Diakses pada tanggal 07 November 2009).

Junaidi, Wawan. “Definisi Sterilisasi”. http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/7/definisi-sterilisasi.html (Diakses tanggal 07 November 2007)

Mangarengi, Yusriani. Kumpulan Diktat Kuliah Mikrobiologi untuk Mahasiswa AKPER UIT Makassar; Makassar: Fakultas Keperawatan UIT Makassar, 2008.

“Pembuatan Media n Sterilisasi, http://blogkita.info/my-kampuz/my-kuliah/mikrobiologi/pembuatan-media-n-sterilisasi/ (Diakses tanggal 07 November 2009).

Tim Dosen Mata Kuliah. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Umum; Makassar: Jurusan Biologi UIN Alauddin Makassar, 2009.

Laporan Praktikum “Imbibisi”

Posted in Fisiologi Tumbuhan pada 19:52 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

BAB I
PENDAHULUAN

Imbibisi adalah penyerapan air (absorpsi) oleh benda-benda yang padat (solid) atau agak padat (semi solid) karena benda-benda tersebut mempunyai zat penyusun dari bahan yang berupa koloid.
Ada banyak hal yang merupakan proses penyerapan air yang terjadi pada makhluk hidup, misalnya penyerapan air dari dalam tanah oleh akar tanaman. Namun, penyerapan yang dimaksudkan di sini yaitu penyerapan air oleh biji kering. Hal ini banyak kita jumpai di kehidupan kita sehari-hari yaitu pada proses pembibitan tanaman padi, pembuatan kecambah tauge, biji kacang hijau terlebih dahulu direndam dengan air. Pada peristiwa perendaman inilah terjadi proses imbibisi oleh kulit biji tanaman tersebut. Tidak hanya itu, proses imbibisi juga memiliki kecepatan penyerapan air yang berbeda-beda untuk setiap jenis biji tanaman.
Mengingat akan banyaknya hal yang berhubungan dengan proses imbibisi, maka diadakan praktikum ini untuk mengetahui kecepatan imbibisi biji kering yang direndam. Hal ini dimaksudkan guna menambah pemahaman kita tentang proses imbibisi yang terjadi pada biji kering.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dinding sel hidup selalu rembes dan kadang-kadang dikelilingi oleh larutan cair yang sinambung dari satu sel ke sel lainnya, sehingga membentuk suatu jalinan pada seluruh tumbuhan. Dipandang dari sudut hubungannya dengan larutan ini, sebuah sel tumbuhan biasanya dapat dibandingkan dengan sistem osmosis tipe tertutup. Kedua selaput sitoplasma, yaitu plasmalema di sebelah luar dan tonoplas di sebelah dalam, kedua-duanya sangat permeabel terhadap air, tetapi relatif tak permeabel terhadap bahan terlarut, sehingga untuk mudahnya seluruh lapisan sitoplasma itu dapat dianggap sebagai membran sinambung dan semi-permeabel. (Loveless, 1991).
Transportasi tumbuhan adalah proses pengambilan dan pengeluaran zat-zat ke seluruh bagian tubuh tumbuhan. Pada tumbuhan tingkat rendah (misal ganggang) penyerapan air dan zat hara yang terlarut di dalamnya dilakukan melalui seluruh bagian tubuh. Pada tumbuhan tingkat tinggi (misal spermatophyta) proses pengangkutan dilakukan pembuluh pengangkut yang terdiri dari xilem dan floem (Anonim, 2009).
Tumbuhan memperoleh bahan dari lingkungan untuk hidup berupa O2, CO2, air dan unsur hara. Kecuali gas O2 dan CO2 zat diserap dalam bentuk larutan ion. Mekanisme proses penyerapan dapat belangsung karena adanya proses imbibisi, difusi, osmosis dan transpor aktif (Anonim, 2009).
Imbibisi adalah penyerapan air (absorpsi) oleh benda-benda yang padat (solid) atau agak padat (semi solid) karena benda-benda itu mempunyai zat penyusun dari bahan yang berupa koloid (Suradinata, 1993).
Banyak benda-benda kering atau benda setengah padat dapat menyerap air (absorpsi) karena benda-benda tersebut mengandung materi koloid yang hidrofil. Hidrofil artinya menarik air. Contoh pada tumbuhan misalnya biji yang kering (Suradinata, 1993).
Penyerapan air dipengaruhi oleh faktor dalam (disebut pula faktor tumbuhan) dan faktor luar atau faktor lingkungan (Soedirokoesoemo, 1993).
Menurut Soedirokoesoemo (1993), Faktor dalam terdiri dari:
a. Kecepatan transpirasi : semakin cepat transpirasi makin cepat penyerapan.
b. Sistem perakaran : tumbuhan yang mempunyai system perakaran berkembang baik, akan mampu mengadakan penyerapan lebih kuat karena jumlah bulu akar semakin banyak.
c. Kecepatan metabolisme : karena penyerapan memerlukan energi, maka semakin cepat metabolismem (terutama respirasi) akan mempercepat penyerapan.
Menurut Soedirokoesoemo (1993), factor lingkungan terdiri dari:
a. Ketersediaan air tanah : tumbuhan dapat menyerap air bila air tersedia antara kapasitas lapang dan konsentrasi layu tetap. Bila air melebihi kapasitas lapang penyerapan terhambat karena akan berada dalam lingkungan anaerob.
b. Konsentrasi air tanah : air tanah bukan air murni, tetapi larutan yang berisi berbagai ion dan molekul. Semakin pekat larutan tanah semakin sulit penyerapan.
c. Temperatur tanah : temperatur mempengaruhi kecepatan metabolism. Ada temperatur optimum untuk metabolisme dan tentu saja ada temperatur optimum untuk penyerapan.
d. Aerasi tanah: yang dimaksud dengan aerasi adalah pertukaran udara, yaitu maksudnya oksigen dan lepasnya CO2 dari lingkungan. Aerasi mempengaruhi proses respirasi aerob, kalau tidak baik akan menyebabkan terjadinya kenaikan kadar CO2 yang selanjutnya menurunkan pH. Penurunan pH ini berakibat terhadap permeabilitas membran sel.

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum ini yaitu diadakan pada:
Hari/tanggal : Selasa/09 Juni 2009
Waktu : Pukul 15.00 s.d. 17.30 WITA
Tempat : Laboratorium Biologi Gedung B Lt. III
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar
Samata Gowa.

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu, neraca analitik, cawan petri, stopwatch, dan pinset
2. Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan yaitu biji kacang merah (Phaseolus vulgaris), air, aquadest, dan kertas saring.

C. Cara Kerja
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengambil secara random 10 biji dari tiap kelompok yang disediakan kemudian menimbang.
2. Merendam biji-biji tersebut dalam cawan petri selama 5 menit
3. Mengeluarkan biji dari cawan petri dan meletakkan di atas kertas saring hingga air yang menempel terserap.
4. Segera menimbang dan menentukan beratnya.
5. Melakukan kegiatan nomor 3 dan 4 untuk beberapa kali hingga memperoleh berat yang tidak bertambah lagi.
6. Membuat grafik yang menunjukkan hubungan antara waktu perendaman dengan air yang diserap.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
No Waktu perendaman (menit) Berat biji (gram)
1
2
3
4 0
5
10
15 2,32
2,33
2,34
2,34

B. Analisis Data
Diketahui : Berat awal = 2, 32 gr
Ditanyakan : Air yang diserap…?
Penyelesaian :
Air yang diserap = berat akhir – berat awal
• Pada menit ke 5 = berat menit ke 5 – berat awal
= 2,33 gr – 2,32 gr
= 0,1 gr
• Pada menit ke 10 = berat menit ke 10 – berat awal
= 2,34 gr – 2,32 gr
= 0,2 gr
• Pada menit ke 15 = berat menit ke 15 – berat awal
= 2,34 gr – 2,32 gr
= 0,2 gr

C. Grafik
Adapun grafik yang menunjukkan hubungan antara waktu perendaman dengan air yang diserap adalah sebagai berikut:

D. Pembahasan
Pada percobaan kali ini, proses imbibisi pada biji kering diketahui dengan cara perendaman. Biji tumbuhan yang menjadi sampel yaitu biji tumbuhan Phaseolus vulgaris. Dari sini dapat diketahui bahwa ternyata biji tersebut melakukan proses imbibisi atau penyerapan air, hal ini dibuktikan dari hasil pengamatan yang diperoleh. Pada hasil pengamatan didapatkan hasil yang berbeda-beda pada setiap penimbangan biji setelah perendaman dalam cawan petri yang berisi air.

Adapun hasil pengamatan yang diperoleh adalah sebagi berikut:
1. Perendaman pada menit ke 5
Pada pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil penimbangan awal yaitu 2,32 gr. Setelah dilakukan perendaman selama 5 menit, hasil penimbangan bertambah menjadi 2,33 gr. Penambahan berat tersebut disebabkan karena masuknya air ke dalam biji pada saat perendaman.
Masuknya air ke dalam biji karena melewati membran sel, serta adanya gaya tarik senyawa di dalam biji yang bersifat higroskopik, yaitu Kristal karbohidrat (amilum) dan protein kering di dalam biji.
Bertambahnya berat biji setelah perendaman merupakan bukti bahwa terjadi proses imbibisi pada biji tersebut, dan dari hasil penimbangan maka didapatkan jumlah air yang diserap sebanyak 0,1 gr. Banyaknya air yang diserap diketahui dengan mengurangkan antara berat biji pada menit ke 5 ini dengan berat awal penimbangan biji.
2. Perendaman pada menit ke 10
Seperti halnya pada perendaman menit ke 5, pada hasil pengamatan ini didapatkan berat setelah perendaman selama 10 menit yaitu 2,34 gr. Berat biji pada menit ke 10 ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan berat biji pada perendaman menit ke 5. Terjadinya penambahan berat pada biji tersebut disebabkan karena biji masih aktif melakukan proses imbibisi.
Adanya tarikan oleh senyawa higroskopik dari dalam biji menyebabkan air masuk melalui membran sel, yang kemudian menyebabkan terjadinya proses imbibisi. Senyawa higroskopik yang dimaksud adalah Kristal karbohidrat (amilum) dan protein kering yang terdapat di dalam biji.
Adanya penambahan berat pada menit ke 10 ini menyebabkan adanya penambahan pada jumlah air yang diserap yaitu sebesar 0,2 gr. Hasil ini didapatkan dari pengurangan antara berat biji setelah perendaman selama 10 menit dengan berat awal biji sebelum dilakukan perendaman.
3. Perendaman pada menit ke 15
Pada pengamatan ini, didapatkan berat biji yang sama dengan berat biji pada perendaman menit ke 10 yaitu sebesar 2,34 gr. Tidak adanya penambahan berat disebabkan karena sudah tidak ada lagi gaya tarik oleh senyawa higroskopik yang ada di dalam biji tersebut karena sudah penuh dengan air yang tadinya diserap.
Penyerapan air oleh biji kering menyebabkan terjadinya peristiwa imbibisi karena air masuk biji melewati membran sel, juga ditarik oleh oleh senyawa di dalam biji sifatnya higroskopik, yaitu amilum dan protein kering di dalam biji.
Berdasarkan hasil penimbangan yang dilakukan, dimana tidak terjadi penambahan berat dari perendaman menit ke 10, maka jumlah air yang diserap biji ini pun konstan, yaitu 0,2 gr. Hal ini terjadi karena adanya titik jenuh biji pada proses penyerapan
Berdasar dari hal inilah sehingga dapat diketahui bahwa semakin lama proses perendaman biji di dalam air, semakin besar kecepatan imbibisinya. Begitupula sebaliknya, semakin sedikit waktu perendaman, semakin lambat kecepatan imbibisi.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa kecepatan imbibisi tanaman biji kering dapat diketahui dengan cara perendaman. Bertambahnya berat biji tiap penimbangan menunjukkan terjadinya proses imbibisi.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diajukan pada praktikum ini yaitu setelah melakukan perendaman, biji dikeringkan dengan kertas saring sebaik mungkin agar sisa-sisa air yang masih menempel pada biji tidak mempengaruhi berat biji pada saat penimbangan untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009. Transportasi pada Tumbuhan. http://tedbio.multiply.com/journal/. Diakses pada hari Jumat/12 Juni 2009.

Loveless, A. R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soedirokoesoemo, Wibisono. 1993. Materi Pokok Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suradinata, Tatang. 1993. Petunjuk Praktikum Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Laporan Praktikum “Transpirasi”

Posted in Fisiologi Tumbuhan pada 19:47 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

BAB I
PENDAHULUAN

Secara umum yang dimaksud dengan penguapan adalah suatu proses pergerakan molekul-molekul zat cair dari permukaan zat cair tersebut ke udara bebas. Hilangnya air dari tubuh tumbuhan sebagian besar melalui permukaan daun disebut sebagai transpirasi.
Pada umumnya transpirasi ini terjadi melalui daun akan tetapi dapat juga melalui permukaan tubuh yang lainnya seperti batang. Oleh karena itu dikenal 3 jenis transpirasi, yaitu transpirasi melalui stomata, melalui kutikula, dan melalui lentisel. Walaupun demikian, bahasan transpirasi ini biasanya bibatasi pada masalah-masalah transpirasi melalui daun, karena sebagian besar hilangnya molekul-molekul air ini lewat permukaan daun tumbuhan.
Mengingat akan pentingnya pemahaman tentang proses transpirasi, maka diadakanlah praktikum ini dengan tujuan untuk mengetahui kecepatan transpirasi dan untuk mengetahui jumlah air yang yang diuapkan / satuan luas daun dalam waktu tertentu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sebatang tumbuhan yang tumbuh di tanah dapat dibayangkan sebagai dua buah sistem percabangan, satu di bawah dan satu di atas permukaan tanah. Kedua sistem ini dihubungkan oleh sebuah sumbu utama yang sebagian besar terdapat di atas tanah. Sistem yang berada di dalam tanah terdiri atas akar yang bercabang-cabang menempati hemisfer tanah yang besar. Akar-akar terkecil terutama yang menempati bagian luar hemisfer tersebut. Sistem yang terdapat di atas permukaan tanah mencakup suatu hemisfer serupa, dengan permukaan yang ditempati oleh cabang-cabang kecil berdaun lebat. Secara kolektif akar-akar kecil membentuk permukaan luas yang berhubungan dengan tanah, dan sama halnya dengan daun-daun yang juga membentuk permukaan luas yang berhubungan dengan udara. Dalam keadaan normal, sel-sel bergbagai akar dikelilingi oleh larutan tanah yang mempunyai tekanan osmosis umumnya di bawah −2 bar (atmosfer), dan sering kali hampir nol, sedangkan sel-sel daun dan bagian-bagian lain yang berada di atas tanah dikelilingi oleh udara tak jenuh yang kemampuan menyerap airnya beberapa bar. Karena sumbu yang menghubungkan akar dan daun memungkinkan air mengalir dengan tahanan yang wajar, maka tidak dapat dielakkan lagi bahwa air akan mengalir sepanjang gradasi tekanan air yang membentang dari tanah ke udara dalam tubuh tumbuhan. Oleh karena itu seluruh tumbuhan dapat dibandingkan dengan sebuah sumbu lampu, yang menyerap air dari tanah malalui akar, mengalirkannya melalui batang dan kemudian menguapkannya ke udara dari daun-daun (Loveless, 1991).
Meskipun air merupakan penyusun utama tubuh tumbuhan namun sebagian besar air yang diserap akan dilepaskan kembali ke atmosfer dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk proses metabolisme dan mengatur turgor sel. Hilangnya air dari tubuh tumbuhan terjadi melalui proses transpirasi dan gutasi (Soedirokoesoemo, 1993).
Transpirasi adalah hilangnya air dari tubuh-tumbuhan dalam bentuk uap melalui stomata, kutikula atau lentisel (Soedirokoesoemo, 1993).
Ada dua tipe transpirasi, yaitu (1) transpirasi kutikula adalah evaporasi air yang terjadi secara langsung melalui kutikula epidermis; dan (2) transpirasi stomata, yang dalam hal ini kehilangan air berlangsung melalui stomata. Kutikula daun secara relatif tidak tembus air, dan pada sebagian besar jenis tumbuhan transpirasi kutikula hanya sebesar 10 persen atau kurang dari jumlah air yang hilang melalui daun-daun. Oleh karena itu, sebagian besar air yang hilang melalui daun-daun (Loveless, 1991).
Kecepatan transpirasi berbeda-beda tergantung kepada jenis tumbuhannya. Bermacam cara untuk mengukur besarnya transpirasi, misalnya dengan menggunakan metode penimbangan. Sehelai daun segar atau bahkan seluruh tumbuhan beserta potnya ditimbang. Setelah beberapa waktu yang ditentukan, ditimbang lagi. Selisih berat antara kedua penimbangan merupakan angka penunjuk besarnya transpirasi. Metode penimbangan dapat pula ditujukan kepada air yang terlepas, yaitu dengan cara menangkap uap air yang terlepas dengan dengan zat higroskopik yang telah diketahui beratnya. Penambahan berat merupakan angka penunjuk besarnya transpirasi (Soedirokoesoemo, 1993).
Proses transpirasi ini selain mengakibatkan penarikan air melawan gaya gravitasi bumi, juga dapat mendinginkan tanaman yang terus menerus berada di bawah sinar matahari. Mereka tidak akan mudah mati karena terbakar oleh teriknya panas matahari karena melalui proses transpirasi, terjadi penguapan air dan penguapan akan membantu menurunkan suhu tanaman. Selain itu, melalui proses transpirasi, tanaman juga akan terus mendapatkan air yang cukup untuk melakukan fotosintesis agar kelangsungan hidup tanaman dapat terus terjamin (Anonim, 2009).
Transpirasi juga merupakan proses yang membahayakan kehidupan tumbuhan, karena kalau transpirasi melampaui penyerapan oleh akar, tumbuhan dapat kekurangan air. Bila kandungan air melampaui batas minimum dapat menyebabkan kematian. Transpirasi yang besar juga memaksa tumbuhan mengedakan penyerapan banyak, untuk itu diperlukan energi yang tidak sedikit (Soedirokoesoemo, 1993).

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum ini yaitu diadakan pada:
Hari/tanggal : Selasa/02 Juni 2009
Pukul : 15.00 s.d. 17.30 WITA
Tempat : Laboratorium Biologi Gedung B Lt. III
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar
Samata Gowa.

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu neraca ohhauss, neraca analitik, gunting, penggaris, dan botol kaca.
2. Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan yaitu tanaman segar Citrus aurantifolia, air, kertas HVS dan kapas.

C. Cara Kerja
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengisi botol dengan air kurang lebih setengahnya dan menutup dengan gabus yang berlubang.
2. Memasukkan tanaman Citrus aurantifolia panjang sekitar 40 cm ke dalam botol melalui lubang gabus.
3. Mengolesi vaselin sekeliling gabus dan lubang gabus untuk mencegah penguapan melalui tanaman
4. Menimbang botol bersama tanamannya dan mencatat beratnya. Selanjutnya meletakkan tanaman dalam ruangan.
5. Menimbang kembali setiap 20 menit, melakukan penimbangan sampai 3 kali.
6. Setelah penimbangan selesai, mengambil tanaman tersebut dan mengukur luas total daun tumbuhan tersebut.
Adapun cara mengukur luas total daun (LTD) adalah sebagai berikut:
1. Membuat pola pada setiap daun dan menimbang seluruh pola daun, misalnya beratnya = x gram.
2. membuat potongan kertas seluas 1 cm2 dan menimbang beratnya, misalnya = y gram.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
• Berat awal botol + tanaman : 245,5 gr
• Berat botol + tanaman (20 menit I) : 245 gr
• Berat botol + tanaman (20 menit II) : 244,9 gr
• Berat botol + tanaman (20 menit III) : 244,5 gr
• Berat potongan kertas (y) : 0,0096 gr
• Berat pola daun keseluruhan (x) : 2,5256 gr

B. Analisis Data
Diketahui : Berat awal botol + tanaman = 245,5 gr
Berat akhir botol + tanaman = 1gr
x = 2,5256 gr
y = 0,0096 gr
Ditanyakan:
1. LTD…?
2. Kecepatan Transpirasi…?
Penyelesaian:

1. LTD = = = 263,08 cm2

3. a = berat akhir botol + tanaman = 1 gr
b = LTD = 263,08 cm2

Kecepatan transpirasi = = = 0.0038 gr/cm2/jam.

C. Pembahasan
Pada percobaan kali ini, proses transpirasi tumbuhan diketahui dengan cara penimbangan. Tumbuhan yang menjadi sampel yaitu tumbuhan Citrus aurantifolia. Dari sini dapat diketahui bahwa ternyata tanaman tersebut melakukan proses transpirasi, hal ini dibuktikan dari hasil pengamatan yang diperoleh. Pada hasil pengamatan didapatkan hasil yang berbeda-beda pada setiap penimbangan botol yang berisi air dan tanaman. Pada penimbangan awal didapatkan berat sebesar 245,5gr, sedangkan pada penimbangan 20 menit ke I, 20 menit ke II, dan 20 menit ke III didapatkan hasil yang besarnya lebih kecil dibandingkan pada saat penimbangan awal.
Seperti yang kita ketahui bahwa proses transpirasi merupakan proses hilangnya air dari tubuh tumbuhan dalam bentuk uap melalui stomata, kutikula dan lentisel. Berkurangnya berat botol dan tanaman pada proses penimbangan merupakan bukti terjadinya proses transpirasi pada tanaman Citrus aurantifolia tersebut. Transpirasi yang terjadi dipengaruhi oleh Luas Total Daun (LTD) tanaman tersebut. Semakin besar LTD tanaman, maka semakin cepat proses transpirasi yang terjadi, begitu pula sebaliknya, semakin kecil LTD tanaman, maka semakin lambat pula proses transpirasinya. Dengan menggunakan perbandingan antara berat akhir penimbangan botol dan tanaman dengan LTD tanaman, maka dapat diketahui besarnya kecepatan transpirasi tanaman.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Kecepatan transpirasi tanaman Citrus aurantifolia adalah 0,0038 gr/cm2/jam.
2. Jumlah air yang diuapkan/satuan luas daun dalam waktu tertentu pada tanaman Citrus aurantifolia adalah 263,08 cm2.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diajukan pada praktikum ini yaitu sebaiknya praktikan teliti pada saat melakukan penimbangan agar didapatkan hasil yang akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009. Sistem Transportasi dan Transpirasi dalam Tanaman. http://www.indoforum.org/showthread.php?t=34436. Diakses pada hari Rabu/03 Juni 2009.

Loveless, A. R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soedirokoesoemo, Wibisono. 1993. Materi Pokok Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Laporan Praktikum “Kurva Sigmoid”

Posted in Fisiologi Tumbuhan pada 19:44 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

BAB I
PENDAHULUAN

Proses pertumbuhan merupakan hal yang lazim bagi setiap tumbuhan. Dalam proses pertumbuhan terjadi penambahan volume yang signifikan. Seiring berjalannya waktu pertumbuhan suatu tanaman terus bertambah. Proses tumbuh sendiri dapat dilihat pada selang waktu tertentu, di mana setiap pertumbuhan tanaman akan menunjukkan suatu perubahan dan dapat dinyatakan dalam bentuk kurva/diagram pertumbuhan.
Laju pertumbuhan suatu tumbuhan atau bagiannya berubah menurut waktu. Oleh karena itu, bila laju tumbuh digambarkan dengan suatu grafik, dengan laju tumbuh ordinat dan waktu pada absisi, maka grafik itu merupakan suatu kurva berbentuk huruf s atau kurva sigmoid. Kurva sigmoid ini berlaku bagi tumbuhan lengkap, bagian-bagiannya ataupun sel-selnya (Latunra, dkk., 2009).
Percobaan ini diadakan dengan melihat berapa rata-rata pertumbuhan daun dengan menggunakan kurva sigmoid tersebut. Tujuan diadakannya percobaan ini adalah untuk mengamati laju tumbuh daun sejak dari embrio dalam biji hingga daun mencapai ukuran tetap pada tanaman kacang merah Phaseolus vulgaris.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan yang tidak dapat dibalikkan dalam ukuran pada sistem biologi. Secara umum pertumbuhan berarti pertambahan ukuran karena organisme multisel tumbuh dari zigot, pertumbuhan itu bukan hanya dalam volume, tapi juga dalam bobot, jumlah sel, banyaknya protoplasma, dan tingkat kerumitan. Pertumbuhan biologis terjadi dengan dua fenomena yang berbeda antara satu sama lain. Pertambahan volume sel dan pertambahan jumlah sel. Pertambahan volume sel merupakan hasil sintesa dan akumulasi protein, sedangkan pertambahan jumlah sel terjadi dengan pembelahan sel (Kaufman, 1975).
Pada setiap tahap dalam kehidupan suatu tumbuhan, sensitivitas terhadap lingkungan dan koordinasi respons sangat jelas terlihat. Tumbuhan dapat mengindera gravitasi dan arah cahaya dan menanggapi stimulus-stimulus ini dengan cara yang kelihatannya sangat wajar bagi kita. Seleksi alam lebih menyukai mekanisme respons tumbuhan yang meningkatkan keberhasilan reproduktif, namun ini mengimplikasikan tidak adanya perencanaan yang disengaja pada bagian dari tumbuhan tersebut (Campbell, 2002).
Pada batang yang sedang tumbuh, daerah pembelahan sel batang lebih jauh letaknya dari ujung daripada daerah pembelahan akar, terletak beberapa sentimeter dibawah ujung (tunas). Sedangkan pertambahan panjang tiap lokus pada akar tidak diketahui pertambahan panjang terbesar dikarenakan kecambah mati (Salisbury, 1995).
Teorinya, semua ciri pertumbuhan bisa diukur, tapi ada dua macam pengukuran yang lazim digunakan untuk mengukur pertambahan volume atau massa. Yang paling umum, pertumbuhan berarti pertambahan ukuran. Karena organisme multisel tumbuh dari zigot, pertambahan itu bukan hanya dalam volume, tapi juga dalam bobot, jumlah sel, banyaknya protoplasma, dan tingkat kerumitan. Pada banyak kajian, pertumbuhan perlu diukur. Pertambahan volume (ukuran) sering ditentukan denagn cara mengukur perbesaran ke satu atau dua arah, seperti panjang (misalnya, tinggi batang) atau luas (misalnya, diameter batang), atau luas (misalnya, luas daun). Pengukuran volume, misalnya dengan cara pemindahan air, bersifat tidak merusak, sehingga tumbuhan yang sama dapat diukur berulang-ulang pada waktu yang berbeda (Salisbury, 1995).
Kurva sigmoid yaitu pertumbuhan cepat pada fase vegetatif sampai titik tertentu akibat pertambahan sel tanaman kemudian melambat dan akhirnya menurun pada fase senesen (Anonim, 2008).
Pengukuran daun tanaman mulai dari waktu embrio dengan menggunakan kurva sigmoid juga memiliki hubungan erat dengan perkecambahan biji tersebut yang otomatis juga dipengaruhi oleh waktu dormansi karena periode dormansi juga merupakan persyaratan bagi perkecambahan banyak biji. Ada bukti bahwa pencegah kimia terdapat di dalam biji ketika terbentuk. Pencegah ini lambat laun dipecah pada suhu rendah sampai tidak lagi memadai untuk menghalangi perkecambahan ketika kondisi lainnya menjadi baik. Waktu dormansi berakhir umumnya didasarkan atas suatu ukuran yang bersifat kuantitatif. Untuk tunas dan biji dormansi dinyatakan berhasil dipecahkan jika 50 % atau lebih dari populasi biji tersebut telah berkecambah atau 50% dari tunas yang diuji telah menunjukkan pertumbuhan. Bagi banyak tumbuhan angiospermae di gurun pasir mempunyai pencegah yang telah terkikis oleh air di dalam tanah. Dalam proses ini lebih banyak air diperlukan daripada yang harus ada untuk perkecambahan itu sendiri. (Kimball, 1992).
Pada fase logaritmik ukuran (V) bertambah secara eksponensial sejalan dengan waktu (t). Ini berarti bahwa laju pertumbuhan (dv/dt) lambat pada awalnya, tapi kemudian meningkat terus. Laju berbanding lurus dengan organisme, semakin besar organisme, semakin cepat pula ia tumbuh. Pada fase linier, pertambahan ukuran berlangsung secara konstan, biasanya pada laju maksimum selama beberapa waktu lamanya. Tidak begitu jelas mengapa laju pertumbuhan pada fase ini harus konstan, dna bukan sebanding dengan peningkatan ukuran organisme. Tapi, pada batang tak bercabang, fase linier tersebut disebabkan hanya oleh aktivitas yang konstan dari meristem apikalnya. Fase penuaan dicirikan oleh pertumbuhan yang menurun saat tumbuhan sudah mencapai kematangan dan mulai menua (Salisbury, 1995).

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum ini yaitu diadakan pada:
Hari/tanggal : Selasa/16 Juni 2009
Waktu : Pukul 14.00 s.d. 16.00 WITA
Tempat : Laboratorium Biologi Gedung B Lt. III
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar
Samata Gowa.

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah penggaris milimeter, pisau, toples/wadah dan kayu kecil
2. Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah biji kacang merah Phaseolus vulgaris, campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 1:1, dan air.

C. Cara Kerja
Adapun prosedur kerja dari percobaan ini adalah :
1. Merendam biji kacang merah selama 2-3 jam di dalam nampan/toples yang berisi air.
2. Memilih biji yang baik sebanyak 30 biji yang baik.
3. Setelah 2 jam merendam, mengupas 3 biji dan membuka kotiledonnya mengukur panjang pada embrionya dengan penggaris, kemudian menghitung nilai rata-ratanya.
4. Menanan 25 biji dalam pot, menyiram dengan air secukupnya dan memelihara selama 2 minggu.
5. Mengadakan pengamatan sebagai berikut :
a) Mengukur panjang daun pertamanya pada umur 3, 5, 7, 10, dan 14 hari.
b) Melakukan pengukuran daun pada umur 3 dan 5 hari yang dengan menggali tanah.
c) Melakukan pengukuran selanjutnya tanpa memotong kecambah tanaman. Selalu menggunakan 3 tanaman yang sama untuk pengukuran selanjutnya.
d) Menentukan rata-rata panjang daun dari tiap-tiap seri pengukuran.
6. Membuat grafik dengan panjang rata-rata daun sebagai ordinat dan waktu pengukuran.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan dari percobaan ini ditunjukkan oleh tabel berikut :
Hari ke- Panjang rata-rata daun (mm)
0 6
3 18
5 32
7 48
10 56
14 63

B. Grafik

C. Pembahasan
Pada percobaan ini menggunakan kacang merah Phaseolus vulgaris yang bertujuan untuk mengamati daun dari embrio dalam biji sampai mencapai ukuran tetap pada tanaman tersebut. Biji yang digunakan adalah sebanyak 30 biji di mana 3 biji dikupas kulitnya dan dibuka kotiledonnya, kemudian diukur panjang embrionya. Lalu dihitung panjang rata-ratanya. Hal ini dilakukan sesuai dengan tujuan yaitu untuk mengamati daun dari embrio. Dari hasil pengukuran diperoleh panjang rata-rata embrio yaitu 6 mm.
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan maka dapat diperoleh hasil pengamatan sebanyak 5 kali dengan pengukuran pada kedua helai daunnya, dimana titik awal pengukuran dari daun tersebut diawali pada tangkai dasar induk daun.
Pada pengamatan I, didapatkan rata-rata panjang daun yaitu 18 mm setelah penanaman hari ke 3. Selanjutnya pada penanaman hari ke 5, rata-rata panjang daun mengalami kenaikan menjadi 32 mm. Pada pengamatan III, didapatkan rata-rata panjang daun menjadi 48 mm. Selanjutnya yaitu rata-rata panjang daun pada pengamatan IV yaitu setelah penanaman selama 10 hari adalah 56 mm dan terakhir yaitu penanaman pada hari ke 14, didapatkan rata-rata panjang daun yaitu 63 mm.
Setelah melakukan pengamatan tersebut didapatkan kurva yang berbentuk huruf S yang berarti bahwa pengamatan sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman jika dibuatkan kurva akan berbentuk huruf S. Hal ini disebabkan karena pada pengamatan terakhir daunnya mencapai ukuran tetap (belum mengalami fase penuaan) walaupun laju pertumbuhan tanaman meningkat sehingga kurvanya menunjukkan kurva berbentuk S. Tumbuhan dalam pertumbuhannya mengalami tiga fase pertumbuhan yaitu fase logaritmik, fase linier, dan fase penuaan. Proses pertumbuhan ini dipengaruhi bebrapa faktor internal seperti gen dan hormon pertumbuhan dan faktor eksternal seperti cahaya, nutrisi, air, kelembaban, dan sebagainya.
Adanya perbedaan panjang daun dari masing-masing tanaman ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kualitas biji Kacang merah Phaseolus vulgaris
2. Sulitnya pematahan dormansi
3. Kurangnya unsur hara dalam tanah
4. Kurangnya penyiraman atau pemberian air terhadap tanaman

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang diperoleh pada percobaan ini dapat disimpulkan bahwa laju tumbuh daun sejak embrio dalam biji kacang merah Phaseolus vulgaris, samapai mencapai mencapai ukuran tetap didapatkan kurva yang berbentuk S yang menunjukkan kesesuaian dengan teori yang menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman jika dibuatkan kurva akan berbentuk huruf S.

B. Saran
Adapun saran yang diajukan pada praktikum ini yaitu, sebaiknya dalam melakukan penanaman, kondisi air pada media tanam diperhatikan agar pertumbuhan biji dapat berlangsung dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009, Kurva Sigmoid. http://www.lapanrs.com/. Diakses pada tanggal 27 Juni 2009 pukul 16:14 WITA.

Campbell. 2002. Biologi jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Kaufman. 1975. Laboratory Experiment in Plant Physiology. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Kimball, J.W. 1992. Biologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Latunra. 2007. Penuntun Praktikum Fisiologi Tumbuhan II. Makassar: Universitas Hasanuddin,

Salisbury. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: ITB Press.

Laporan Praktikum “Fermentasi”

Posted in Fisiologi Tumbuhan pada 19:43 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

BAB I
PENDAHULUAN

Katabolisme adalah reaksi penguraian senyawa yang kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan bantuan enzim. Penguraian suatu senyawa dapat menghasilkan energi. Energi berasal dari terlepasnya ikatan-ikatan kimia yang menyusun suatu persenyawaan. Semakin kompleks persenyawaan kimia itu, semakin banyak ikatan kimia yang menyusunnya dan akan semakin besar energi yang dilepaskan. Akan tetapi energi itu tidak dapat digunakan secara langsung oleh sel. Energi tersebut diubah terlebih dahulu menjadi persenyawaan ATP yang dapat digunakan oleh sel sebagai sumber energi terpakai. Contoh katabolisme adalah adalah proses pernapasan sel atau respirasi.
Respirasi adalah proses penguraian bahan makanan yang menghasilkan energi. Respirasi dibedakan menjadi dua yaitu respirasi aerob, yaitu respirasi yang menggunakan oksigen bebas untuk mendapatkan energi, dan respirasi anaerob, yaitu respirasi yang tidak membutuhkan oksigen bebas untuk mendapatkan energi. Bahan baku respirasi adalah karbohidrat, asam lemak atau protein. Hasil respirasi berupa CO2, air dan energi dalam bentuk ATP.
Salah satu contoh respirasi anaerob yaitu fermentasi. Fermentasi ini dilakukan oleh-oleh sel-sel ragi terhadap glukosa yang kemudian menghasilkan CO2 dan energi, dan untuk membuktikan bahwa pada proses fermentasi yang dilakukan oleh sel-sel ragi terhadap glukosa akan menghasilkan karbondioksida dan energi, maka dilakukanlah percobaan ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Salah satu syarat untuk mempertahankan hidup adalah penyediaan energi yang sinambung. Energi ini diperoleh dengan cara menyadap energi kimia yang terbentuk dalam molekul organik yang disintesis oleh fotosintesis. Proses pelepasan energi yang menyediakan energi bagi keperluan sel itu dikenal dengan istilah proses respirasi (Loveless, 1991).
Respirasi adalah suatu proses pengambilan O2 untuk memecah senyawa-senyawa organik menjadi CO2, H2O dan energi. Namun demikian respirasi pada hakikatnya adalah reaksi redoks, dimana substrat dioksidasi menjadi CO2 sedangkan O2 yang diserap sebagai oksidator mengalami reduksi menjadi H2O. Yang disebut substrat respirasi adalah setiap senyawa organik yang dioksidasikan dalam respirasi, atau senyawa-senyawa yang terdapat dalam sel tumbuhan yang secara relatif banyak jumlahnya dan biasanya direspirasikan menjadi CO2 dan air. Sedangkan metabolit respirasi adalah intermediat-intermediat yang terbentuk dalam reaksi-reaksi respirasi (Anonim, 2009).
Berdasarkan peran oksigen, dikenal dua macam respirasi, yaitu respirasi aerob dan respirasi anaerob (fermentasi). Umumnya respirasi aerob mempunyai tahap-tahap reaksi, mulai dari awal sampai akhir berturut-turut ialah: glikolisis, pembentukan asetil coenzim A (Asetil CoA), siklus krebs dan sistem transport elektron (Soedirokoesoemo, 1993).
Fermentasi adalah proses penghasil energi utama dari berbagai mikroorganisme. Mikroorganisme seperti itu disebut anaeroob, karena mereka mampu hidup dan memecah senyawa organik tanpa oksigen. Beberapa dari organisme tersebut akan mati jika didedahkan dengan oksigen. Dalam hal ini mereka disebut anaerob obligat (Sasmitamihardja, 1996).
Reaksi keseluruhan fermentasi adalah:
C6H12O6 (glukosa) 2CH3−CH2OH (etanol) + 2CO3 (karbohidrat)
Ini berarti, satu molekul glukosa diubah menjadi dua molekul etanol dan dua molekul karbondioksida. Fermentasi seperti glikolisis, adalah serangkaian reaksi yang terjadi tanpa oksigen. Antara proses fermentasi dan proses glikolisis hanya sedikit sekali perbedaannya; sebagian besar reaksi antara terdapat pada kedua jalur (Sasmitamihardja, 1996).
Menurut Soedirokoesoemo (1993), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju respirasi dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu:
1. Faktor dalam (faktor internal), terdiri atas:
a. Faktor protoplasmik
Laju respirasi sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas dari protoplasma yang ada di dalam sel. Kuantitas dan kualitas protoplasma di dalam sel sangat bergantung kepada umur sel
b. Konsentrasi substrat respirasi tersedia
Laju respirasi sangat tergantung pada konsentrasi substrat respirasi yang tersedia. Semakin banyak substrat respirasi yang tersedia di dalam sel semakin cepat laju respirasinya.
2. Faktor luar (faktor eksternal), terdiri atas:
a. Temperatur
b. Cahaya
c. Konsentrasi oksigen di udara
d. Konsentrasi karbondioksida
e. Tersedianya air
f. Luka
g. Beberapa senyawa kimia
h. Perlakuan mekanik
Secara lebih rinci mengenai fermentasi yang berlangsung pada tumbuhan hidup dapat ditelusuri pada publikasi-publikasi yang berhubungan dengan tanggapan tanaman terhadap kondisi hipoksida atau anoksida, baik yang terjadi secara alami, misalnya karena penggenangan atau yang dirancang untuk penelitian dengan menggunakan gas nitrogen sebagai pengganti udara normal untuk menjamin ketersediaan oksigen (Lakitan, 2007).

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum ini yaitu diadakan pada:
Hari/tanggal : Selasa/16 Juni 2009
Waktu : Pukul 14.00 s.d. 16.00 WITA
Tempat : Laboratorium Biologi Gedung B Lt. III
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar
Samata Gowa.

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu, tabung reaksi, rak tabung reaksi, timbangan, watch glass, gelas ukur 10 ml, thermometer batang, pipet, kaki tiga dan kasa, balon karet, sedotan plastik, dan karet gelang.
2. Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan yaitu Yeast, glukosa, air kapur dan akuadest.

C. Cara Kerja
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan pada praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Menyediakan 6 tabung reaksi kemudian memberi kode A1, B1, C1, dan A2B2C2.
2. Membuat larutan yeast 20% dan larutan glukosa 20%.
3. Mengisi tabung A1 dengan 6 ml larutan yeast 20%.
4. Mengisi tabung B1 dengan 6 ml larutan glukosa 20%.
5. Mengisi tabung C1 dengan 3 ml larutan yeast 20% dan 3 ml larutan glukosa 20%, kemudian mengocok perlahan-lahan. Memasangkan balon karet pada masing-masing mulut tabung A1, B1, C1 kemudian mengikatnya dengan karet gelang.
6. Memasukkan tabung A1, B1, C1 tersebut ke dalam penangas air dingin dengan suhu 37°C dan menunggunya sampai 3 menit. Mengamati perubahan yang terjadi.
7. Memasukkan air kapur ke dalam 3 tabung reaksi yang lain dan memberi kode A2, B2, C2.
8. Melepaskan balon karet dari mulut tabung reaksi, kemudian menghembuskan gas ke dalam air kapur tersebut dengan bantuan sedotan plastik. Mengamati perubahan yang terjadi.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
• Saat dimasukkan dalam penangas air
Tabung Perubahan yang terjadi
A1 (larutan glukosa 20 %)

B1 (larutan yeast 20%)

C1 (larutan glukosa 20% + larutan yeast 20%) Sedikit gelembung udara, tidak mengembang.
Sedikit gelembung udara, tidak mengembang
Banyak gelembung udara, mengembang
• Saat dihembuskan ke dalam larutan air kapur
Tabung Perubahan yang terjadi
A2 (larutan glukosa 20 %)
B2 (larutan yeast 20%)
C2 (larutan glukosa 20% + larutan yeast 20%) Jernih, tidak ada gelembung udara
Keruh, sedikit gelembung udara
Keruh, banyak gelembung udara

B. Pembahasan
Fermentasi merupakan salah satu peristiwa dalam katabolisme. Sebagai bahan dasarnya adalah karbohidrat yang akan diubah menjadi karbondioksida dan energi. Dalam peristiwa ini, sel-sel ragi memegang peranan penting pada proses perubahan alkohol menjadi karbondioksida dan energi, proses pembuatan alkohol oleh mikroorganisme dan hasil akhirnya disebut fermentasi alkohol.
Pada pengamatan ini digunakan tiga larutan untuk kegiatan I yaitu tabung A1 (larutan glukosa 20 %), tabung B1 (larutan yeast 20%), dan tabung C1 (larutan glukosa 20% + larutan yeast 20%). Adapun hasil pengamatan yang diperoleh setelah ketiga tabung tersebut dimasukkan ke dalam penangas air selama kurang lebih 37°C adalah, pada tabung A1 (larutan glukosa 20 %) ditemukan adanya sedikit gelembung udara dan tidak mengembang, untuk tabung B1 (larutan yeast 20%) didapatkan hasil yang sama dengan tabung A1 yaitu sedikit gelembung udara dan tidak mengembang. Sedangkan untuk tabung C1 (larutan glukosa 20% + larutan yeast 20%) didapatkan hasil yaitu ditemukan banyak gelembung udara dan larutan tersebut mengembang.
Adapun untuk kegiatan II yaitu saat menghembuskan udara yang berada di dalam balon karet pada tabung A2, B2, C2 yang berisi air kapur didapatkan hasil yaitu untuk tabung A2 (dihembuskan udara yang berasal dari tabung A1), larutan air kapur tetap jernih dan tidak ditemukan adanya gelembung udara. Pada tabung B2 (dihembuskan udara yang berasal dari tabung B1), larutan air kapurnya berubah menjadi keruh dan terdapat sedikit gelembung udara. Untuk tabung C2 (dihembuskan udara yang berasal dari tabung C1), ditemukan banyak gelembung udara dan larutan air kapur menjadi keruh.
Dari hasil pengamatan tersebut, dapat diketahui bahwa adanya gelembung udara yang ditemukan pada tabung B2 dan C2 menunjukkan bahwa pada proses fermentasi yang dilakukan oleh sel ragi terhadap glukosa menghasilkan gas CO2. Pengamatan ini sesuai dengan teori bahwa fermentasi yang dilakukan oleh oleh sel ragi terhadap glukosa menghasilkan CO2 dan energi.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa adanya gelembung udara yang ditemukan pada tabung B2 dan C2 menunjukkan bahwa pada proses fermentasi yang dilakukan oleh sel-sel ragi terhadap glukosa menghasilkan gas CO2 dan energi.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diajukan pada praktikum ini yaitu diharapkan pada setiap praktikan agar bersungguh-sungguh dalam melakukan praktikum ini agar tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Respirasi. http://one.indoskripsi.com/node/4672. Diakses pada hari Jumat/26 Juni 2009.
Lakitan, Benyamin. 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Loveless, A. R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Sasmitamihardja, Dardjat. 1996. Fisiologi Tumbuhan. Bandung: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soedirokoesoemo, Wibisono. 1993. Materi Pokok Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Laporan Praktikum “Medium”

Posted in Mikrobiologi Umum, Uncategorized pada 19:36 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Semua makhluk hidup membutuhkan nutrien untuk pertumbuhan dan reproduksinya. Nutrien merupakan bahan baku yang digunakan untuk membangun komponen-komponen seluler baru dan untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan dalam proses kehidupan sel.
Untuk menumbuhkan dan mengembangbiakkan mikroba diperlukan suatu substrat yang disebut medium. Sedangkan medium itu sendiri sebelum digunakan haris dalam keadaan steril artinya tidak ditumbuhi oleh mikroba lain yang tidak diharapkan. Agar mikroba dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di dalam medium, maka diperlukan persyaratan tertentu yaitu diantaranya bahwa di dalam medium harus terkandung semua unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroba.
Oleh karena hal tersebut, maka diadakan praktikum ini guna menambah keterampilan dan pengetahuan kita mengenai cara pembuatan medium pertumbuhan mikroba.
Tujuan
Adapun tujuan pelaksanaan praktikum ini yaitu untuk mengetahui cara pembuatan medium seperti medium NA (Nutrien Agar), NB (Nutrien Broth), PDA (Potato Dekstrosa Agar), TEA (Tauge Ekstrak Agar), TEB (Tauge Ekstrak Broth), dan LB (Lactose Broth) serta mengetahui fungsi dari masing-masing medium tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Mikroorganisme merupakan jasad hidup yang mempunyai ukuran sangat kecil. Setiap sel tunggal mikroorganisme memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivitas kehidupan antara lain dapat mengalami pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi dengan sendirinya. Mikroorganisme memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi karena mikroorganisme ini harus mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang besar sehingga apabila ada interaksi yang tinggi dengan lingkungan menyebabkan terjadinya konversi zat yang tinggi pula. Akan tetapi, karena ukurannya yang kecil, maka tidak ada tempat untuk menyimpan enzim-enzim yang telah dihasilkan. Dengan demikian enzim yang tidak diperlukan tidak akan disimpan dalam bentuk persediaan. Enzim-enzim tertentu yang diperlukan untuk pengolahan bahan makanan akan diproduksi bila makanan tersebut sudah ada (Kusnadi dkk, 2003).
Untuk menelaah bakteri dan jamur di laboratorium, kita harus dapat menumbuhkan atau mengembangkan bakteri dan jamur tersebut. Adanya pembiakan bakteri dan jamur dimaksudkan untuk memudahkan pemeriksaan yang akan dilakukan di dalam laboratorium, sehingga jika sewaktu-waktu kita memerlukan bakteri dan jamur untuk suatu percobaan, maka bakteri dan jamur tersebut telah tersedia. Biakkan bakteri dan jamur tersebut dapat disimpan di dalam lemari es untuk waktu yang lama tanpa ada kerusakan.
Mikroorganisme yang ingin kita tumbuhkan, yang pertama harus dilakukan adalah memahami kebutuhan dasarnya kemudian memformulasikan suatu medium atau bahan yang akan digunakan. Air sangat penting bagi organisme bersel tunggal sebagai komponen utama protoplasmanya serta untuk masuknya nutrien ke dalam sel. Pembuatan medium sebaiknya menggunakan air suling. Air sadah umumnya mengandung ion kalsium dan magnesium yang tinggi. Pada medium yang mengandung pepton dan ektrak daging, air dengan kualitas air sadah sudah dapat menyebabkan terbentuknya endapan fosfat dan magnesium fosfat (Hadioetomo, 1993).
Mikroba memiliki karakteristik dan ciri yang berbeda-beda di dalam persyaratan pertumbuhannya. Ada mikroba yang bisa hidup hanya pada media yang mengandung sulfur dan ada pula yang tidak mampu hidup dan seterusnya. Karakteristik persyaratan pertumbuhan mikroba inilah yang menyebabkan bermacam-macamnya media penunjang pertumbuhan mikroba.
Pembiakan diperlukan untuk mempelajari sifat bakteri untuk dapat mengadakan identifikasi, determinasi, atau diferensiasi jenis-jenis yang ditemukan. Pertumbuhan ketahanan bakteri bergantung pada pengaruh luar seperti makanan (nutrisi), atmosfer, suhu, lengas, konsentrasi ion hidrogen, cahaya, dan berbagai zat kimia yang dapat menghambat atau membunuh.
Kebutuhan bakteri pada umumnya adalah sebagai berikut:
Sumber energi yang diperlukan untuk reaksi-reaksi sintesis yang membutuhkan energi dalam pertumbuhan dan restorasi, pemeliharaan keseimbangan cairan, gerak, dan sebagainya
Sumber karbon.
Sumber nitrogen sebagian besar untuk sintesis protein dan asam-asam nukleat.
Sumber garam-garam anorganik, khususnya fosfat dan sulfat sebagai anion; dan potasium, sodium magnesium, kalsium, besi, mangan sebagai kation.
Berdasarkan komposisi/susunan kimia bahan penyusunnya, media yang digunakan untuk menumbuhkan mikrobia dibagi atas 5 yaitu:
Medium organik; yaitu medium yang tersusun dari bahan-bahan organik.
Medium anorganik; yaitu medium yang tersusun dari bahan-bahan anorganik
Medium sintetik, yaitu media yang tersusun atas senyawa yang tidak diketahui komposisi kimianya secara tepat. Media tersebut berisi garam anorganik misalnya asam amino, asam lemak, alkohol, karbohidrat atau senyawa organik serta serta vitamin-vitamin.
Media nonsintetik, adalah media yang tidak diketahui komposisi kimianya secara pasti. Beberapa dari komposisi yang ditambahkan misalnya ekstak beef, ekstrak yeast, pepton, darah, serum dan casein hidrolisat. Contoh media non sintesis NA, NB, PDA.
Menurut Dwidjoseputro , selanjutnya medium buatan manusia itu dapat berupa:
Medium Cair
Medium cair yang biasa dipakai ialah air kaldu yang disiapkan sebagai berikut. Kepada 1 liter air murni ditambahkan 3 gr kaldu daging lembu dan 5 gr pepton. Pepton ialah protein yang terdapat pada daging, pada air susu, pada kedelai, dan pada putih telur. Pepton mengandung banyak N2, sedang kaldu berisi garam-garam mineral dan lain-lainnya lagi. Medium ini kemudian ditentukan pHnya 6,8 sampai 7, jadi sedikit asam atau netral; keadaan yang demikian ini sesuai bagi kebanyakan bakteri. Kaldu seperti tersebut diatas masih perlu disaring untuk kemudian dimasukkan ke dalam tabung-tabung reaksi. Penyaringan dapat dilakukan dengan kertas saring. Setelah tabung berisi medium kaldu tersebut disumbat dengan kapas, dan dapatlah dimasukkan ke dalam alat pensteril.
Medium kental (padat)
Dahulu kala orang lazim menggunakan kentang yang dipotong-potong serupa silinder untuk medium.silinder kentang mentah dibuat dengan pipa besi, lalu potongan-potongan itu dimaksudkan untuk ke dalam tabung reaksi. Kemudian tabung disumbat dengan kapas, dan setelah itu disterilkan di dalam autoklaf. Setelah kentang dingin kembali,permukaan atas dari silinder kentang dapat ditanami bakteri
Suatu penemuan yang baik sekali ialah medium dari kaldu yang dicampur dengan sedikit agar-agar, dan kemudian dibiarkan mendingin, maka diperolehlah medium padat. Agar-agar ialah sekedar zat pengental, dan bukan zat makanan bagi bakteri.
Medium yang diperkaya
Kebanyakan bakteri suka tumbuh pada dasar makanan seperti disebut di atas. Tetapi bakteri patogen seperti Brucella abortus, Mycobacterium tuberculosis, Diplococcus pneumoniae, dan Neisseria gonorrhoeae memerlukan zat makanan tambahan berupa serum atau darah yang tak mengandung fibrinogen lagi. Fibrinogen adalah zat yang menyebabkan darah menjadi kental, apabila keluar di luka. Serum atau darah itu dicampurkan ke dalam medium yang sudah disterilkan. Jika pencampuran ini dilakukan sebelum sterilisasi, maka serum atau darah tersebut akan mengental akibat pemanasan. Pada medium buatan Loeffler, serum dicampurkan di dalam dasar makanan sebelum sterilisasi. Medium ini baik sekali untuk memelihara basil-basil dipteri. Juga medium yang memerlukan tambahan putih telur dibuat dengan cara demikian. Seringkali orang menambahkan susu atau air tomat kepada dasar makanan untuk menumbuhkan Lactobacillus dan beberapa spesies lainnya.
Medium yang kering
Pekerjaan laboratorium sekarang ini banyak dipermudah dengan telah adanya bermacam-macam medium yang tersedia dalam bentuk serbuk kering. Untuk menyiapkan medium tersebut, cukuplah orang mengambil sekian gram serbuk kering tersebut untuk dilarutkan dalam sekian liter air dan kemudian larutan itu disterilkan. Penentuan pH tidak perlu lagi, karena hal itu sudah dilakukan lebih dulu pada pembuatan serbuk. Periksalah “Difco Manual of dehyclinical culture media and reagents for microbiological and clinical laboratory procedures”.

BAB III
METODE PRATIKUM

Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum ini yaitu diadakan pada:
Hari/tanggal : Kamis/14 November 2009
Waktu : Pukul 15.00 s.d. 19.00 WITA
Tempat : Laboratorium Biologi Gedung B Lt. III
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar, Samata Gowa.

Alat dan Bahan
Alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah otoklaf, erlenmeyer, gelas kimia, pisau, batang pengaduk, corong, neraca analitik, lemari pendingin, dan kompor.
Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu alkohol, kapas, kertas koran, tissu, kertas saring, dan aluminium foil.

Medium Nutrien Agar (NA)
Ekstrak daging (beef) : 1,5 gram
Pepton : 2,5 gram
Bacto Agar : 7,5 gram
Air Suling : 500 ml
Medium Nutrien Broth (NB)
Ekstrak daging (beef) : 1,5 gram
Pepton : 2,5 gram
Air Suling : 500 ml
Potato Dekstrosa Agar (PDA)
Kentang : 50 gram
Dekstrosa : 3,75 gram
Bacto Agar : 3,75 gram
Air Suling : 250 ml
Tauge Ekstrak agar (TEA)
Tauge : 5 gram
Sukrosa : 3 gram
Bacto Agar : 0,75 gram
Air Suling : 50 ml
Tauge Ekstrak Broth (TEB)
Tauge : 5 gram
Sukrosa : 3 gram
Air Suling : 50 ml
Lactose Broth (LB)
Ekstrak daging (beef) : 1,5 gram
Pepton : 2,5 gram
Lactosa : 2,5 gram
Air Suling : 500 ml

Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja praktikum ini yaitu:
Medium Nutrien Agar (NA)
Menimbang dengan teliti masing-masing bahan, melarutkan dalam air suling 500 ml, melakukan pemanasan sambil mengaduk hingga homogen.
Menutup wadah dengan baik menggunakah kapas dan aluminium foil, mensterilkan dengan menggunakan otoklaf pada tekanan 2 atm, suhu 121°C selama 15 menit.
Medium Nutrien Broth (NB)
Menimbang dengan teliti masing-masing bahan, melarutkan dalam air suling 500 ml, melakukan pemanasan sambil mengaduk hingga homogen.
Menutup wadah dengan baik menggunakah kapas dan aluminium foil, mensterilkan dengan menggunakan otoklaf pada tekanan 2 atm, suhu 121°C selama 15 menit.
Potato Dekstrosa Agar (PDA)
Menimbang bahan dengan teliti, memotong dengan kecil kentang seperti dadu,
Merebus kentang dalam 250 ml air suling hingga mendidih selama ± 20 menit, lalu menyaring dengan kertas saring.
Menambahkan air hingga 250 ml.
Memasukkan dekstrosa dan bacto agar kemudian mengaduk hingga homogen.
Menutup mulut tabung dengan menyumbatnya dengan kapas lalu membungkus dengan aluminium foil. Mensterilkan dalam otoklaf.
Tauge Ekstrak agar (TEA)
Menimbang bahan dengan teliti, merebus tauge dalam air suling 50 ml hingga mendidih selama ± 15 menit, menyaring dengan kertas saring.
Memasukkan sukrosa dan bacto agar, mengaduk hingga homogen kemudian menutup wadah dan selanjutnya mensterilkan dalam otoklaf.
Tauge Ekstrak Broth (TEB)
Menimbang bahan dengan teliti, merebus tauge dalam air suling 50 ml hingga mendidih selama ± 15 menit, menyaring dengan kertas saring.
Memasukkan sukrosa, mengaduk hingga homogen kemudian menutup wadah dan selanjutnya mensterilkan dalam otoklaf.
Lactose Broth (LB)
Menimbang seluruh bahan dengan teliti kemudian melarutkan dalam aquadest 500 ml. mengaduk hingga homogen (melakukan pemansan bila perlu).
Menutup wadah dengan kapas dan aluminium foil, lalu mensterilkan dalam otoklaf.
Analisis Data
Medium Nutrien Agar (NA) (Air suling = 500 ml)
Ekstrak daging (beef) : (1,5 )/500 ×500 =1,5 gram
Pepton : (2,5 )/500 ×500 =2,5 gram
Bacto Agar : (7,5 )/500 ×500 =7,5 gram
Air Suling : 500/500 ×500 =500 ml
Medium Nutrien Broth (NB) (Air suling = 500 ml)
Ekstrak daging (beef) : (1,5 )/500 ×500 =1,5 gram
Pepton : (2,5 )/500 ×500 =2,5 gram
Air Suling : 500/500 ×500 =500 ml
Potato Dekstrosa Agar (PDA) (Air suling = 250 ml)
Kentang : 100/500 ×250 =50 gram
Dekstrosa : 7,5/500 ×250 =3,75 gram
Bacto Agar : 7,5/500 ×250 =3,75 gram
Air Suling : 500/500 ×250 =250 ml
Tauge Ekstrak agar (TEA) (Air Suling = 50 ml)
Tauge : 50/500 ×50 =5 gram
Sukrosa : 30/500 ×50 =3 gram
Bacto Agar : 7,5/500 ×50 =0,75 gram
Air Suling : 500/500 ×50 =50 ml
Tauge Ekstrak Broth (TEB) (Air Suling = 50 ml)
Tauge : 50/500 ×50 =5 gram
Sukrosa : 30/500 ×50 =3 gram
Air Suling : 500/500 ×50 =50 ml

Lactose Broth (LB) (Air suling = 500 ml)
Ekstrak daging (beef) : (1,5 )/500 ×500 =1,5 gram
Pepton : (2,5 )/500 ×500 =2,5 gram
Lactose : (2,5 )/500 ×500 =2,5 gram
Air Suling : 500/500 ×500 =500 ml

Pembahasan
Nutrien Agar (NA)
Medium NA berdasarkan susunan kimianya merupakan medium non sintetik/semi ilamiah, berdasarkan konsistensinya merupakan medium padat. Medium ini digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Komposisi NA yang terdiri dari:
Ekstrak beef berfungsi sebagai sumber karbohidrat, mengandung senyawa nitrogen organik yang dibutuhkan mikroba.
Pepton merupakan sumber protein dan penghasil nitrogen.
Bacto agar berfungsi sebagai pemadat medium
Aquadest berfungsi sebagai pelarut.
Nutrien Broth (NB)
Medium NB berdasarkan konsistensinya termasuk medium cair. Dikatakan medium cair karena pada komposisinya tidak terdapat bacto agar sebagai pemadat medium. Berdasarkan susunan kimianya termasuk medium non sintetik/ semi alamiah. Medium NB ini digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Komposisinya adalah:
Ekstrak beef sebagai sumber karbohidrat, mengandung nitrogen dan bermacam-macam vitamin yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba.
Pepton merupakan sumber protein dan mengandung unsur nitrogen dan karbohidrat.
Aquadest selain berfungsi sebagai sumber oksigen, juga berfungsi sebagai pelarut sehingga memberi konsistensi cair pada mdium.
Potato Dekstrosa Agar (PDA)
Medium ini menurut konsistensinya termasuk medium padat, berdasarkan susunan kimianya termasuk non sintetik/semi alamiah. Medium PDA digunakan untuk menumbuhkan jamur (kapang). Komposisinya terdiri dari:
Dekstrosa berfungsi sebagai sumber karbon.
Kentang sebagai sumber karbohidrat.
Bacto agar berfungsi memadatkan medium
Aquadest berfungsi sebagai pelarut dan sumber oksigen.
Tauge Ekstrak Agar (TEA)
Medium ini berdasarkan konsistensinya termasuk medium padat karena terdapat agar sebagai bahan penyusunnya. Sedangkan berdasarkan susunan kimianya termasuk medium non sintetik/semi alamiah. Medium ini digunakan untuk pertumbuhan dan pembiakan khamir. Komposisinya terdiri dari:
Tauge yang berfungsi sebagai sumber-sumber zat organik yang dibutuhkan oleh khamir.
Sukrosa merupakan sumber karbohidrat bagi khamir, dimana setelah mengalami fermentasi, sukrosa akan berubah menjadi glukosa dan fruktosa yang juga dibutuhkan oleh khamir.
Bacto agar berfungsi memadatkan medium
Aquadest digunakan untuk melarutkan bahan pada medium tersebut.
Tauge Ekstrak Broth (TEB)
Medium Tauge Ekstrak Broth merupakan medium yang bersifat non sintetik. Sedangkan berdasarkan konsistensinya, termasuk medium cair. Medium ini juga digunakan untuk pertumbuhan dan pembiakan khamir. Komposisinya sama dengan medium TEA, hanya saja pada medium ini, tidah ada penambahan agar untuk konsistensinya. oleh karena pada komposisinya tidak terdapat agar sehingga medium ini disebut medium cair
Lactose Broth (LB)
Medium Lactose Broth merupakan medium yng konsistensinya termasuk medium cair. Berdasarkan susunan kimianya, medium ini termasuk medium non sintetik dan berdasarkan fungsinya termasuk medium diperkaya karena pada medium ini ditambahkan za-zat tertentu, seperti lactose. Medium ini digunakan untuk memperbanyak bakteri Coliform. Komposisinya terdiri dari
Ekstrak beef yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat dan nitrogen yang dibutuhkan oleh bakteri.
Pepton merupakan sumber protein dan nitrogen serta karbohidrat.
Lactose merupakan sumber energi dan juga karbohidrat.
Aquadest sebagai sumber oksigen juga sebagai pelarut yang memberikan konsistensi cair pada medium.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa medium berdasarkan konsistensinya dibedakan menjadi 3, yaitu:
Medium padat yaitu medium yang konsistensinya bersifat padat. Medium yang tergolong medium padat yaitu Nutrien Agar (NA) yang berfungsi untuk pertumbuhan bakteri, Potato Ekstrak Dekstrosa (PDA) yang berfungsi menumbuhkan mikroba dari jamur (kapang), dan Tauge Ekstrak Agar (TEA) yang berfungsi untuk menumbuhkan khamir.
Medium cair yaitu medium yang konsistensinya bersifat cair. Medium yang tergolong medium cair yaitu NB (Nutrien Broth), TEB (Tauge Ekstrak Broth), dan LB (Lactose Broth). NB berfungsi untuk menumbuhkan bakteri, TEB berfungsi untuk menumbuhkan khamir, dan LB berfungsi untuk memperbanyak bakteri Coliform.
Medium padat yang dapat dicairkan yaitu medium yang jika berada pada suhu rendah akan memadat dan jika ditempatkan pada kondisi yang panas maka akan mencair. Medium yang termasuk dalam medium ini adalah medium yang pada komposisinya terdapat bakto agar yang berfungsi sebagai pemadat medium, yaitu Nutrien Agar (NA), PDA (Potato Dekstrosa Agar), dan TEA (Tauge Ekstrak Agar).

Saran
Adapun saran yang dapat diajukan pada praktikum ini yaitu, praktikan harus aktif dalam melakukan praktikum, harus teliti dalam menimbang bahan-bahan yang akan digunakan serta selalu memperhatikan kesterilan alat dan bahan yang digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjoseputro, D. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998.

Hafsah. Bahan Ajar Mikrobiologi Umum. Makassar: Program Studi Biologi UIN Alauddin Makassar, 2009.

Irianto, Koes. Mikrobiologi Jilid 1. Bandung: Yrama Widya, 2006

“Mengenal Media Pertumbuhan Mikrobial”. http://rachdie.blogsome.com/2006/10/18/mengenal-media-pertumbuhan-mikrobial/ (Diakses tanggal 14 November 2009).

“Pembuatan Media Agar dan Sterilisasi dan Pembiakan Bakteri dan Jamur”. http:/makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/08/pembuatan-media-agar-dan-sterilisasi-dan.html (Diakses tanggal 14 November 2009).

“Pembuatan Media n Sterilisasi, http://blogkita.info/my-kampuz/my-kuliah/mikrobiologi/pembuatan-media-n-sterilisasi/ (Diakses tanggal 07 November 2009).

Unus, Sunarwiria. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung: PT. Angkasa, 1985.

Valarine, Keanekaragaman Mikroorganisme pada Media Agar. http://beibsblogg.blogspot.com/2009/06/keanekaragaman-mikroorganisme-pada.html (Diakses tanggal 14 November 2009).

Laporan Praktikum “Pengenalan Alat Mikrobiologi”

Posted in Mikrobiologi Umum pada 19:35 oleh Andi Rezki Ferawati Yusuf

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mikrobiologi adalah salah satu cabang ilmu dari biologi yang mempelajari tentang organisme yang mikroskopik yakni meliputi bakteri, virus, fungi, alga dan protozoa. Mikrobiologi boleh dikatakan merupakan ilmu yang masih baru. Dunia jasad renik barulah ditemukan sekitar 300 tahun yang lalu dan makna sesungguhnya mengenai mikroorganisme itu barulah dipahami sekitar 200 tahun kemudian. Selama 40 tahun terakhir, mikrobiologi muncul sebagai bidang biologi yang sangat berarti karena mikroorganisme digunakan oleh para peneliti dalam penelaah hampir semua gejala biologis yang utama.
Dalam melakukan praktikum mikrobiologi, tentunya digunakan berbagai macam alat dengan fungsinya masing-masing sehingga sangat perlu keterampilan dalam menggunakan alat-alat mulai dari cara membersihkan sampel, penggunaan, dan penyimpanannya. Olehnya itu, maka perlu diadakan praktikum ini yaitu agar dapat memberikan pemahaman kepada kita mengenai alat-alat yang sering digunakan pada praktikum mikrobiologi.

B. Tujuan
Adapun tujuan pelaksanaan praktikum ini yaitu untuk mengetahui alat-alat yang digunakan pada laboratorium mikrobiologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Mikrobiologi adalah ilmu pengetahuan tentang perikehidupan makhluk-makhluk kecil yang hanya kelihatan dengan mikrosop (bahasa Yunani: mikros = kecil, bios = hidup, logos = kata atau ilmu). Makhluk-makhluk kecil itu disebut mikroorganisme, mikroba, protista atau jasad renik.
Antoni van Leeuwenhoek (1632-1723) ialah orang yang pertama kali mengetahui adanya dunia mikroorganisme itu. Dengan mikroskop ciptaannya ia dapat melihat bentuk makhluk-makhluk kecil yang sebelumnya itu tidak diduga sama sekali keadaannya. Mikroskop buatan Leeuwenhoek itu memberikan pembesaran sampai 300 kali. Dari air hujan yang menggenang di kubangan-kubangan dan dari air jambangan bunga ia peroleh beraneka sel hewan bersel satu yang olehnya diberi nama Infusoria atau “Hewan tuangan”.
Antara tahun 1674 sampai 1683 ia terus-menerus mengadakan hubungan dengan lembaga “Royal Society” di Inggris. Ia melaporkan hal-hal yang diamatinya dengan mikroskop itu kepada lembaga tersebut. Laporan-laporan itu disertai dengan gambar-gambar mikroorganisme yang beraneka ragam. Di dalam sejarah mikrobiologi, Leeuwenhoek dapat dipandang sebagai peletak batu pertamanya.
Mikroorganisme tersebut diantaranya adalah bakteri dan cendawan yang merupakan penghasil bermacam-macam zat organik dan obat-obatan antibiotik. Di dalam biokimia, mikroorganisme memegang peranan penting dalam menganalisis sistem enzim dan dalam menganalisis komposisi suatu bahan makanan. Genetika maju pesat sejak digunakannya mikroorganisme sebagai makhluk percobaan.
Mengenai perkembangan mikrobiologi dapatlah disimpulkan bahwa mikrobiologi maju dengan pesatnya karena hal-hal sebagai berikut.
a. Penemuan serta penyempurnaan mikroskop
b. Jatuhnya teori abiogenesis
c. Keyakinan orang bahwa pembusukan itu disebabkan oleh mikroorganisme.
d. Bukti yang menunjukkan bahwa penyakit itu disebabkan oleh bibit penyakit.
Kajian mikrobiologi membutuhkan metode yang tepat untuk pengamatan mikrobia. Metode mikroskopik dan kemampuan mengkultur mikrobia merupakan metodologi dasar yang dilakukan para ahli mikrobiologi untuk mempelajari struktur, sifat-sifat fisiologisnya (metabolisme dan pertumbuhan) serta mengungkapkan keragaman mikrobia. Penggunaan dan pengembangan alat-alat mikroskopik, kultur murni, metode molekuler dan immunologis memungkinkan peneliti melakukan pengujian yang pada akhirnya berhasil membuat temuan-temuan baru dibidang tersebut. Kemajuan dalam bidang metodologi ini telah mengungkap pemahaman sifat-sifat dasar mikrobia serta aspek-aspek yang berkenaan dengan teknik dan metodologi penelitian mikroba.
Alat merupakan salah satu pendukung dari pada keberhasilan suatu pekerjaan di laboratorium. Sehingga untuk memudahkan dan melancarkan berlangsungnya praktikum, pengetahuan mengenai penggunaan alat sangat diperlukan.
Pada dasarnya setiap alat memiliki nama yang menunjukkan kegunaan alat, prinsip kerja atau proses yang berlangsung ketika alat digunakan. Beberapa kegunaan alat dapat dikenali berdasarkan namanya. Penamaan alat-alat yang berfungsi mengukur biasanya diakhiri dengan kata meter seperti thermometer, hygrometer dan spektrofotometer, dll. Alat-alat pengukur yang disertai dengan informasi tertulis, biasanya diberi tambahan “graph” seperti thermograph, barograph (Moningka,2008).
Dari uraian tersebut, tersirat bahwa nama pada setiap alat menggambarkan mengenai kegunaan alat dan atau menggambarkan prinsip kerja pada alat yang bersangkutan. Dalam penggunaannya ada alat-alat yang bersifat umum dan ada pula yang khusus. Peralatan umum biasanya digunakan untuk suatu kegiatan reparasi, sedangkan peralatan khusus lebih banyak digunakan untuk suatu pengukuran atau penentuan (Moningka, 2008).
Alat-alat dalam praktikum mikrobiologi umum dapat dibagi menjadi:
1. Alat-alat yang terbuat dari gelas
2. Alat-alat sterilisasi
3. Mikroskop
4. Alat-alat lain.
Erlenmeyer (Erlenmeyer flask, Conical flask, E-flaks) digunakan dalam proses titrasi untuk menampung larutan yang akan dititrasi. Dalam mikrobiologi, erlenmeyer digunakan untuk pembiakan mikroba. Erlenmeyer tidak dapat digunakan untuk menampung volume.
Pipet tetes (drop pipette), membantu memindahkan cairan dari wadah yang satu ke wadah yang lain dalam jumlah yang sangat kecil tetes demi tetes.
Gelas ukur (graduated cylinder, measuring cylinder), mengukur volume larutan, cairan atau tepung pada berbagai ukuran volume. Terbuat dari gelas (polipropilen) atau plastik. Gelas ukur digunakan untuk mengukur volume 10 hingga 2000 mL. Gunakan gelas ukur dengan ukuran volume terdekat.
Labu ukur (volumetric flask). Digunakan untuk menyiapkan larutan dalam kimia analitik yang konsentrasi dan jumlahnya diketahui dengan pasti dengan keakuratan yang sangat tinggi. Terbuat dari gelas dengan badan tabung yang rata dan leher yang panjang dengan penutup. Di bagian leher terdapat lingkaran graduasi, volume, toleransi, suhu kalibrasi dan kelas gelas.
Corong gelas (Funnel conical). Membantu memindahkan cairan dari wadah yang satu ke wadah yang lain terutama yang bermulut kecil. Digunakan untuk menyimpan kertas saring dalam proses penyaringan.
Tabung reaksi (test tube, culture tube). Wadah mereaksikan dua atau lebih larutan/bahan kimia. Wadah pengembangan mikroba, misalnya dalam pengujian jumlah bakteri.
Thermometer, skala derajat Celcius, air raksa, berisi gas, panjang 300 mm, diameter 6-7 mm. Fungsi mengukur suhu suatu senyawa kimia (cair) atau suhu ruang inkubator.
Salah satu alat untuk melihat sel mikroorganisme adalah mikroskop cahaya. Dengan mikroskop kita dapat mengamati sel bakteri yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Pada umumnya mata tidak mampu membedakan benda dengan diameter lebih kecil dari 0,1 mm. Berikut merupakan uraian tentang cara penggunaan bagian-bagian dan spesifikasi mikroskop cahaya merk Olympus CH20 yang dimiliki Laboratorium Mikrobiologi.
Autoclave adalah alat untuk mensterilkan berbagai macam alat dan bahan yang digunakan dalam mikrobiologi menggunakan uap air panas bertekanan. Tekanan yang digunakan pada umumnya 15 Psi atau sekitar 2 atm dan dengan suhu 121oC (250oF). Jadi tekanan yang bekerja ke seluruh permukaan benda adalah 15 pon tiap inchi2 (15 Psi = 15 pounds per square inch). Lama sterilisasi yang dilakukan biasanya 15 menit untuk 121oC.
Inkubator adalah alat untuk menginkubasi atau memeram mikroba pada suhu yang terkontrol. Alat ini dilengkapi dengan pengatur suhu dan pengatur waktu. Kisaran suhu untuk inkubator produksi Heraeus B5042 misalnya adalah 10-70oC.
Laminar air flow cabinet adalah suatu alat yang digunakan dalam pekerjaan: persiapan bahan tanaman, penanaman, dan pemindahan tanaman dari sutu botol ke botol yang lain dalam kultur in vitro. Alat ini diberi nama Laminar Air Flow Cabinet, karena meniupkan udara steril secara kontinue melewati tempat kerja sehingga tempat kerja bebas dari, debu dan spora-spora yang mungkin jatuh ke dalam media, waktu pelaksanaan penanaman. Aliran udara berasal dari udara ruangan yang ditarik ke dalam alat melalui filter pertama (pre-filter), yang kemudian ditiupkan keluar melalui filter yang sangat halus yang disebut HEPA (High efficiency Particulate Air FilterI), dengan menggunakan blower.

BAB III
METODE PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat pelaksanaan praktikum ini yaitu diadakan pada:
Hari/tanggal : Kamis/05 November 2009
Waktu : Pukul 15.00 s.d. 17.00 WITA
Tempat : Laboratorium Biologi Gedung B Lt. III
Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar, Samata Gowa.

B. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah keseluruhan alat yang ada di laboratorium mikrobiologi, yaitu mikroskop. Alat gelas; tabung reaksi, tabung durham, erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, cawan petri dan penutup, batang gelas bengkok, corong, batang pengaduk, gelas kimia, thermometer, dan labu ukur. Alat sterilisasi; oven, otoklaf, dan bunsen. Alat lain; Colony Counter, Inkubator, Shaker, Enkas, Ose, rak tabung, gegep, sikat tabung, spoit, vortex, centrifuge, neraca analitik, spektrofotometer, lemari pendingin, kompor gas, dan laminary air flow.
2. Bahan
Pada percobaan ini hanya menggunakan spritus pada bunsen.

C. Prosedur Kerja
Adapun prosedur kerja dari percobaan ini adalah :
1. Menyiapkan mikroskop, alat- alat glass, alat sterilisasi, dan alat- alat lain yang digunakan dalam laboratorium mikrobiologi.
2. Menggambar alat- alat tersebut pada lembar laporan yang telah disediakan.
3. Memberikan keterangan dari bagian alat- alat tersebut. Kemudian mencatat fungsi dari alat- alat tersebut.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
1. Alat-alat yang terbuat dari gelas
a. Tabung reaksi
Keterangan:
1. Mulut tabung
2. Badan tabung
3. Dasar tabung
b. Tabung Durham

Keterangan:
1. Mulut tabung
2. Badan tabung
3. Dasar tabung


c. Erlenmeyer
Keterangan:
1. Mulut tabung
2. Badan tabung
3. Skala
4. Dasar tabung
d. Gelas ukur
Keterangan:
1. Mulut
2. Badan
3. Skala
4. Dasar
e. Pipet tetes
Keterangan:
1. Karet pengisap
2. Batang pipet
3. Ujung pipet
f. Cawan petri dan penutup
Keterangan:
1. Wadah
2. Penutup
g. Batang gelas bengkok
Keterangan:
1. Pegangan kaca
2. Batang berbentuk V
h. Corong
Keterangan:
1. Mulut
2. Leher
3. Lubang
4. Badan
i. Batang pengaduk
Keterangan:
1. Kaca pipih
2. Batang
j. Gelas kimia
Keterangan:
1. Mulut gelas
2. Skala
3. Dasar gelas
4. Badan

k. Thermometer
Keterangan:
1. Lubang gantungan
2. Skala
3. Dasar
4. Air Raksa (merah)
l. Labu ukur
Keterangan:
1. Penutup
2. Mulut tabung
3. Skala
4. Badan tabung
5. dasar


2. Alat-alat sterilisasi
a. Otoklaf
Keterangan:
1. Manometer
2. Pemegang tutup
3. Klep uap
4. Penutup
5. Selang uap/ saluran pengarah
6. Sekrup pengaman
7. Badan
8. Kabel + stecker
9. Rang
10. Wadah aluminium bagian dalam
11. Baut
12. Panah penutup
13. Tempat air
14. Karet penutup


b. Oven
Keterangan:
1. Badan oven
2. Dasar oven
3. Rak
4. Pintu
5. Layar suhu
6. Ventilasi
7. Pengatur suhu
c. Bunsen
Keterangan:
1. Penutup
2. Sumbu
3. Mulut bunsen
4. Leher bunsen
5. Badan bunsen
6. Dasar bunsen


3. Alat-alat lain
a. Colony Counter
Keterangan:
1. Lup
2. Tempat koloni
3. Kamar hitung
4. Layar penghitung
5. Tombol reset
6. Tombol penghitung
7. Pen (alat penunjuk)
8. Tombol On/Off
9. Kabel
10. Pegangan lup
11. Pengatur lup
b. Inkubator
Keterangan:
1. Pintu luar
2. Tombol pintu
3. Penutup kaca
4. Rak
5. Tombol pengatur suhu
6. Tombol power
7. Tombol Set
8. layar penunjuk
9. badan inkubator
10. kabel kontak

c. Shaker
Keterangan:
1. Tempat wadah
2. Skala penunjuk kecepatan putaran
3. Tombol On / Off
4. Tombol pengatur rotasi
5. Sekring pengaman
6. Papan penggerak
7. Ventilasi
d. Enkas
Keterangan:
1. Kaca Penutup
2. Lubang untuk memasukkan tangan
3. Pegangan
4. Badan enkas


e. Ose
Keterangan:
1. Kawat
2. Tempat meletakkan sampel
3. Pegangan kaca
4. Ose bulat
5. Ose lurus
f. Rak tabung
Keterangan:
1. Tempat tabung
2. Badan rak
3. Kaki rak
g. Gegep
Keterangan:
1. Penjepit
2. Gagang penjepit
h. Sikat tabung
Keterangan:
1. Pegangan
2. Bulu sikat
i. Spoit
Keterangan:
1. Penekan spoit
2. Penutup jarum spoit
3. Skala
4. Leher spoit
5. Jarum
6. Tabung
7. Karet pengisap
j. Vortex
Keterangan:
1. Tempat meletakkan tabung
2. Badan
3. Dasar
4. Pengatur kecepatan
5. Tombol on/off
6. Kabel+stacker


k. Centrifuge
Keterangan:
1. Penutup
2. Wadah sampel
3. Tombol Speed
4. Tombol pengatur waktu
5. Tombol ON/OFF
6. Lampu pilot
7. Kabel+stecker
l. Neraca analitik
Keterangan:
1. Pintu penggeser
2. Tempat pengukuran
3. Layar penghitung
4. Tombol Tore
5. Tombol S
6. Tombol F
7. Tombol CF
8. Tombol ON/OFF
9. Kabel + stacker

m. Spektrofotometer
Keterangan:
1. Wadah sampel
2. Tombol pengatur
3. Layar penghitung
4. Kabel + stacker
5. Tombol ON/OFF
6. Kontak Cuvet
n. Lemari pendingin
Keterangan:
1. Pengatur suhu
2. Freezer
3. Rak
4. Lampu
5. Pintu
6. Pintu pegangan
7. Kaki kulkas
8. Badan kulkas


o. Kompor gas
Keterangan:
1. Elemen
2. Tombol ON/OFF
3. Badan kompor
p. Laminary air flow.
Keterangan:
1. Penutup
2. Badan laminary air flow
3. Meja laminary air flow
4. Tombol pengatur
5. Kaki
6. Kabel + stacker
7. Lubang udara


4. Mikroskop
Keterangan:
1. Makrometer
2. Mikrometer
3. Lengan mikroskop
4. Penggerak mekanik
5. Sumbu inklinasi
6. Pengatur kondensor
7. Tiang
8. Kaki
9. Cermin
10. Diafragma
11. Kondensor
12. Meja sediaan
13. Senkeling
14. Lensa objektif
15. Revolver
16. Tubus
17. Lensa okuler


B. Pembahasan
1. Alat-alat yag terbuat dari gelas
a. Tabung reaksi
Tabung reaksi adalah gelas tahan panas yang berfungsi untuk melakukan suatu reaksi kimia dan wadah penyimpanan medium atau larutan yang akan disterilkan.
Prinsip kerjanya yaitu sebagai wadah penyimpanan medium dengan volume tidak diketahui karena tidak dilengkapi dengan skala.
b. Tabung Durham
Tabung durham yaitu tabung yang memiliki bentuk yang sama dengan tabung reaksi tetapi memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding tabung reaksi. Berfungsi untuk menampung hasil fermentasi mikroorganisme berupa gas. Dalam penggunaannya, maka tabung durham itu ditempatkan terbalik di dalam tabung reaksi yang lebih besar dan tabung ini kemudian diisi dengan medium cair. Setelah seluruhnya disterilkan dan medium sudah dingin, maka dapat dilakukan inokulasi. Jika bakteri yang ditumbuhkan dalam media tersebut memang menghasilkan gas, maka gas akan tampak sebagai gelembung pada dasar tabung durham.
c. Erlenmeyer
Tabung erlenmeyer adalah tabung kaca yang berbentuk kerucut dengan mulut sempit, memiliki kapasitas 50, 100, 250, 500, 1000, dan 2000 ml. Fungsinya untuk menyimpan medium, menyimpan larutan sisa, atau larutan yang akan dipergunakan, dan tempat untuk menyimpan medium yang akan disterilkan. Prinsip kerjanya yaitu sebagai wadah penyimpanan benda cair dengan jumlah besar dan berskala.
d. Gelas ukur
Gelas ukur adalah tabung yang dilengkapi dengan bibir tuang dan kaki yang berbentuk heksagonal, memiliki skala dan berfungsi untuk mengukur volume larutan yang akan digunakan. Ukuran gelas ini bermacam-macam, mulai dari volume 25 ml sampai dengan volume 250 ml. jenis gelas ukur ada yang tahan panas (pyrex) dan ada pula yang tidak tahan panas (gelas biasa). Pembuatan larutan sterilisasi eksplan, yaitu chlorox selalu menggunakan gelas ukur. Pada saat menggunakan gelas ukur perlu diperhatikan cara membaca skala pada gelas ukur. Prinsip kerjanya yaitu sebagai wadah penyimpanan benda cair dengan jumlah besar dan berskala.
e. Pipet tetes
Pipet tetes yaitu pipet dengan karet isap ada bagian ujung atasnya. Pipet ini digunakan untuk mengambil dan memindahkan larutan yang akan digunakan dan dikeluarkan tetes per tetes. Prinsip kerjanya yaitu pengambilan larutan berdasarkan pompa karet atau pengatur skala pada bagian atas.
f. Cawan petri dan penutup
Cawan petri yaitu wadah yang menyerupai mangkuk dengan dasar rata. Cawan ini digunakan sebagai wadah penyimpanan dan pembuatan kultur media. Prinsip kerjanya yaitu, medium diletakkan di dalam cawan petri kemudian ditutup dengan menggunakan penutup cawan.
g. Batang gelas bengkok
Merupakan alat kaca yang berbentuk segitiga pada ujung batangnya. Berfungsi untuk menyebar medium atau mikrobia pada cawan petri. Prinsip kerjanya yaitu, medium atau mikrobia yang berada pada cawan petri diratakan dengan menggunakan alat ini.
h. Corong
Merupakan alat yang digunakan dalam proses penyaringan dan memindahkan medium cair dari tempat yang besar ke tempat yang kecil misalnya pada gelas kimia ke labu Erlenmeyer, prinsip kerjanya yaitu memindahkan cairan dengan teliti.
i. Batang pengaduk
Batang pengaduk yang digunakan dalam praktikum ini biasanya terbuat dari kaca atau dari pyrex sehingga dapat dipanaskan dengan otoklaf. Alat ini berfungsi untuk mengaduk bahan kimia atau menghomogenkan medium yang akan dibuat. Prinsip kerjanya yaitu menghomogenkan dengan cara mengaduk larutan tersebut dengan menggunakan batang pengaduk.
j. Gelas kimia
Gelas kimia adalah sebuah wadah yang menyerupai tabung, terbuat dari kaca atau pyrex, bentuknya tinggi dengan bibir tuang dan memiliki kapasitas 50, 100, 150, 250, 400, 600, 1000, dan 2000 ml. berfungsi untuk menyimpan, memanaskan dan mencampur larutan kimia dan medium meskipun skala tidak terlalu tinggi. Prinsip kerjanya yaitu apabila ingin mencampurkan suatu senyawa misal 1000 ml, maka kita pakai gelas kimia yang skala 1000 ml. Kita hanya tinggal memasukkan senyawa yang akan dicampur.
k. Termometer
Termometer adalah batang kaca yang panjangnya 300 mm, diameter 6-7 mm berisi air raksa dan gas, serta dilengkapi dengan skala derajat Celcius. Berfungsi untuk mengukur suhu suatu larutan atau ruang inkubator. Prinsip kerjanya yaitu mengukur suhu sesuai laju air raksa di dalam termometer.
l. Labu ukur
Labu ukur adalah wadah yang terbuat dari gelas jernih dengan penutup, leher panjang dan berfungsi untuk menyimpan hasil ekstraksi dan pengenceran. Prinsip kerjanya yaitu, memasukkan zat atau larutan yang akan diencerkan ke dalam labu ukur kemudian menambahkan aquadest sampai batas garis skala yang telah ditentukan.
2. Alat-alat sterilisasi
a. Otoklaf
Otoklaf yaitu alat yang berfungsi untuk sterilisasi dengan uap panas bertekanan. Alat ini terdiri dari bejana tekanan tinggi yang dilengkapi manometer dan klep bahaya. Otoklaf dipakai untuk sterilisasi medium atau larutan atau alat-alat yang tidak tahan suhu tinggi. Prinsip kerjanya yaitu mensterilkan dengan bantuan uap.
b. Oven
Alat ini digunakan untuk sterilisasi alat-alat yang tahan terhadap panas tinggi misalnya cawan petri, tabung reaksi, labu Erlenmeyer, dan lain-lain. Alat ini umumnya dilengkapi termometer. Prinsip kerjanya yaitu mensterilkan dengan bantuan panas dari pijaran api atau listrik
c. Bunsen
Bunsen yaitu alat sterilisasi yang berbentuk botol pendek dengan badan yang bundar. Dilengkapi dengan sumbu dan menggunakan spiritus sebagai bahan bakar. Digunakan untuk memanaskan medium, mensterilkan jarum inokulasi dan alat-alat yang terbuat dari platina dan nikrom seperti jarum platina dan ose. Cara menggunakannya yaitu menyalakan Bunsen lalu memanaskan alat-alat tersebut di atas api sampai pijar. Alat ini juga digunakan dalam pengerjaan secara aseptik yaitu dengan mendekatkan di sekitar tempat pengerjaan mikrobia untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Prinsip kerjanya yaitu mensterilkan dengan pijaran api kecil.

3. Alat-alat lain
a. Colony counter
Alat ini berguna untuk mempermudah perhitungan koloni bakteri atau jamur yang tumbuh setelah diinkubasi di dalam cawan karena adanya kaca pembesar. Selain itu alat tersebut dilengkapi dengan skala/ kuadran yang sangat berguna untuk pengamatan pertumbuhan koloni sangat banyak. Jumlah koloni pada cawan petri dapat ditandai dan dihitung otomatis yang dapat di-reset. Cara menggunakannya yaitu setelah kita ON-kan, kita menyimpan cawan petri yang berisi bakteri atau jamur ke dalam kamar hitung, mengatur alat penghitung pada posisi dan mulia menghitung dengan menggunakan jarum penunjuk sambil melihat jumlah pada layar hitung.
Prinsip kerjanya adalah menghitung mikroba secara otomatis dengan bantuan pulpen/tombol hitung.
b. Inkubator
Inkubator adalah suatu unit/suatu kabinet yang suhunya dapat diatur untuk menyimpan organisme guna tujuan tertentu. Pada prinsipnya sama dengan oven, hanya terdapat sedikit perbedaan yaitu pada inkubator terdapat 2 pintu sedangkan pada oven hanya 1 pintu. Berfungsi untuk menginkubasi mikroba yang diinginkan pada suhu optimum pertumbuhannya. Prinsip kerjanya adalah menginkubasi sesuai suhu yang diinginkan.

c. Shaker
Shaker adalah alat yang digunakan untuk menghomogenkan dan menginkubasi mikroba. Prinsip kerjanya yaitu mengagitasi pertumbuhan mikroba dengan kecepatan yang bisa diatur atau menghomogenkan isolat-isolat dalam medium cair.
d. Enkas
Merupakan sebuah kotak tertutup, terbuat dari kaca/playwood yang dibagian depannya terdapat dua lubang untuk memasukkan tangan pemakai. Untuk mensterilkan bagian dalamnya bisa dilakukan dengan cara menyemprotkan alkohol 95% atau formalin cair. Fungsinya yaitu digunakan dalam pengerjaan media biakan secara aseptis, untuk melakukan isolasi dan inokulasi bakteri agar tidak terkontaminasi oleh bakteri lainnya.
Prinsip kerja enkas adalah pengerjaan sampel dengan aseptis dan menekan udara bebas.
e. Ose
Ose adalah batang kaca yang ujungnya terdapat kawat panjang, ada yang berbentuk lurus dan adapula yang bulat. Berfungsi untuk memindahkan atau mengambil koloni suatu mikrobia ke media yang akan digunakan kembali. Prinsip kerjanya yaitu ose disentuhkan pada bagian mikrobia kemudian menggosokkan pada kaca preparat untuk diamati.

f. Rak tabung
Rak tabung ini bentuknya persegi panjang dengan permukaan papannya berlubang sebagai tempat penyimpanan tabung reaksi agar posisi tabung tetap tegak. Prinsip kerjanya yaitu meletakkan tabung reaksi tegak lurus dalam jumlah banyak.
g. Gegep
Alat ini digunakan untuk menjepit tabung, khususnya tabung reaksi. Cara penggunaannya adalah dengan menekan pemegang penjepit kemudian menjepit tabung dengan lubang yang ada di tengah penjepit.
h. Sikat tabung
Alat ini digunakan untuk membersihkan tabung reaksi dan alat-alat laboratorium yang mulut tabungnya kecil. Penggunaannya dengan cara memasukkan seluruh bagian sikat pada tabung reaksi atau alat yang akan dibersihkan lalu menggosoknya/disikat hingga ke bagian dasarnya. Prinsip kerjanya dalah membersihkan bagian/permukaan alat yang sulit dijangkau.
i. Spoit
Spoit berfungsi untuk memindahkan medium cair dan mengambil larutan stok dalam pembuatan medium dengan volume tertentu. Spoit (jarum injeksi) ada yang terbuat dari plastik dan ada pula yang terbuat dari kaca. Spoit ada pula yang dapat disterilisasi dengan otoklaf. Jarumnya dapat diambil atau dipasang sehingga dapat diganti dengan suatu alat saring steril untuk keperluan sterilisasi larutan. Penggunaannya yaitu memasukkan jarum spoit ke dalam wadah medium cair yang akan diambil lalu menarik bagian pangkal spoit sehingga medium cair tersebut mengisi badan spoit sesuai dengan volume yang diinginkan kemudian menekan bagian pangkal spoit untuk memindahkan cairan tersebut. Adapun prinsip kerjanya adalah mengambil cairan sesuai skala yang diinginkan secara detail.
j. Vortex
Vortex merupakan peralatan elektronik yang berfungsi untuk mengaduk senyawa kimia yang ada dalam suatu tabung reaksi atau wadah. Tabung reaksi diletakkan pada lubang tempat tabung kemudian menekan tombol power hingga tempat meletakkan tabung bergerak. Dengan adanya tegangan yang diberikan, maka tabung reaksi yang berisi larutan akan tercampur rata. Prinsip kerjanya yaitu menghomogenkan larutan pada satu tabung reaksi.
k. Centrifuge
Berfungsi untuk keperluan isolasi filtrate. Prinsip kerjanya yaitu dengan memasukkan larutan ke dalam centrifuge, nantinya akan didapatkan endapan pada dasar tabung dan filtrat pada bagian atas tabung.
l. Neraca analitik
Prinsip kerja Neraca analitik yaitu alat penghitung satuan berat suatu benda dengan teknik digital. Alat ini berfungsi untuk menimbang bahan yang akan digunakan dalam praktikum dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Prinsip kerjanya yaitu meletakkan bahan pada timbangan tersebut kemudian melihat angka yang tertera pada layar, dan angka itu merupakan berat dari bahan yang ditimbang.
m. Spektrofotometer
Spektrofotometer yaitu alat yang berfungsi untuk mengukur kekeruhan suspensi sel dengan cara menentukan jumlah cahaya dilewatkan dari suatu sumber cahaya monokromatik yang dilewati oleh suatu sel fotoelektrik yang dihubungkan dengan suatu galvanometer, sehingga jumlah cahaya yang dilewatkan dapat diukur. Prinsip kerjanya adalah pendugaan pertumbuhan mikroba secara turbidimetri.
n. Lemari pendingin
Lemari pendingin yaitu suatu alat elektronik yang digunakan untuk menyimpan bahan atau alat yang telah disterilisasi dengan proses pendinginan. Prinsip kerjanya yaitu, mengawetkan mikroba/medium sesuai pada suhu yang diinginkan
o. Kompor gas
Kompor gas yaitu suatu alat yang digunakan untuk memanaskan suatu alat atau bahan. Prinsip kerjanya yaitu, alat diletakkan di atas elemen kompor kemudian dipanaskan dengan menekan tombol.
p. Laminary air flow
Laminar Air Flow (LAF) adalah alat yang berguna untuk bekerja secara aseptis dalam pekerjaan persiapan bahan tanaman, penanaman, dan pemindahan tanaman dari suatu botol ke botol yang lain dalam kultur in vitro. LAF mempunyai pola pengaturan dan penyaring aliran udara sehingga menjadi steril dan aplikasi sinar UV beberapa jam sebelum digunakan. Alat ini diberi nama Laminar Air Flow karena meniupkan udara steril secara kontinue melewati tempat kerja sehingga tempat kerja bebas dari debu dan spora-spora yang mungkin jatuh ke dalam media, waktu pelaksanaan penanaman. Aliran udara berasal dari udara ruangan yang ditarik ke dalam alat melalui filter pertama (pre-filter), yang kemudian ditiupkan keluar melalui filter yang sangat halus yang disebut HEPA (High efficiency Particulate Air FilterI), dengan menggunakan blower.
Prinsip kerjanya yaitu, menyalakan lampu UV, minimum selama 30 menit sebelum laminar air flow digunakan. Hindarkan sinarnya dari badan dan mata. Siapkan semua alat-alat steril yang akan dipergunakan. Alat-alat yang dimasukkan ke dalam Laminar Air Flow Cabinet, disemprot terlebih dahulu dengan alcohol 70% atau spiritus. Meja dan dinding dalam LAF disemprot dengan alkohol 70% atau spiritus untuk mensterilkan LAF. Blower pada LAF dihidupkan untuk menjalankan air flow. Nyalakan lampu dalam LAF, selanjutnya LAF sudah siap untuk digunakan.
4. Mikroskop
Mikroskop ditemukan pada abad ke-16 oleh Antonie Van Leeuwenhock. Sesuai dengan namanya. Mikroskop adalah alat optis yang digunakan untuk memperbesar bayangan objek yang kecil. Ada dua macam mikroskop, yaitu mikroskop sederhana atau tunggal yang hanya terdiri dari satu lensa serta mikroskop majemuk yang berisi 2 lensa. Mikroskop terbagi atas 2 bagian besar yaitu bagian mekanik dan bagian optik. Bagian mekanik terdiri dari tubus dan pengaturnya (kasar dan halus), revolver, pengatur kondensor dan penggerak objek. Bagian optik terdiri dari lensa okuler, lensa objektif, kondensor dan sumber cahaya. Selain kedua bagian tadi, pada mikroskop juga dikenal adanya kondensor, dimana alat ini berfungsi untuk mengukur intensitas cahaya yang masuk ke dalam mikroskop.
Prinsip kerjanya yaitu, meletakkan objek/preparat yang akan diamati di atas meja sediaan dengan menggunakan kaca objek.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa alat-alat pada laboratorium mikrobiologi terbagi atas alat-alat yang terbuat dari gelas, alat-alat sterilisasi, mikroskop, dan alat-alat lain. Yang termasuk alat-alat gelas antara lain tabung reaksi, tabung durham, erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, cawan petri dan penutup, batang gelas bengkok, corong, batang pengaduk, gelas kimia, thermometer, dan labu ukur.
Yang termasuk alat-alat sterilisasi yaitu otoklaf, oven, dan bunsen. Sedangkan yang termasuk alat-alat lain yaitu Colony Counter, Inkubator, Shaker, Enkas, Ose, rak tabung, gegep, sikat tabung, spoit, vortex, centrifuge, neraca analitik, spektrofotometer, lemari pendingin, kompor gas, dan laminary air flow.

B. Saran
Sebaiknya dalam melakukan praktikum ini, praktikan memperhatikan betul alat–alat yang digunakan dalam mikrobiologi agar dapat mengetahui fungsi dan prinsip kerja dari masing–masing alat tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

“Alat-alat Laboratorium Mikrobiologi”, http://rofix.wordpress.com/2009/03/08/alat-alat-laboratorium-mikrobiologi/ (diakses tanggal 07 November 2009)

Alchemist, Rahma. Fungsi Peralatan Laboratoriusm Dasar (1). http://rahma-alchemist.blogspot.com/2009/10/fungsi-peralatan-laboratorium-dasar-1.html. (Diakses tanggal 07 November 2009).

Ali, Alimuddin. Mikrobiologi Dasar Jilid 1; Makassar: State University of Makassar Press, 2005.

Dwidjoseputro, D. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998.

Erwin, Leston. Laminar Air Flow Cabinet http://e-learning.unram.ac.id/KulJar/BAB II org Lab/GB LAMINAR AIR FLOW CABINET.pdf. (Diakses tanggal 07 November 2009).

Firebiology07. Teknik Pengenalan, Penyiapan, dan Penggunaan Alat Laboratorium Mikrobiologi. http://firebiology07.wordpress.com/2009/04/19/teknik-pengenalanpenyiapan-dan-penggunaan-alat-laboratorium-mikrobiologi/: (Diakses tanggal 07 November 2008).

Koesmadji. Teknik Laboratorium. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia Press, 2002.

Irianto, Koes. Mikrobiologi Jilid 1. Bandung: Yrama Widya, 2006

Pradhika, E. Indra. Mikro-Ba Nget. http://ekmon-saurus.blogspot.com/2008/11/bab-1-pengenalan-alat.html. (diakses tanggal 07 November 2009).

Tim Dosen Mata Kuliah. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Umum; Makassar: Jurusan Biologi UIN Alauddin Makassar, 2009.

Unus, Sunarwiria. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung: PT. Angkasa, 1985.

Laman berikutnya